Sukses

Gara-gara Covid-19 dan Perang, OECD Ramal Ekonomi Global Cuma Tumbuh 3 Persen

OECD memangkas ramalan pertumbuhan ekonomi global tahun ini, karena dampak dari kebijakan nol-Covid-19 di China dan perang Rusia-Ukraina

Liputan6.com, Jakarta - Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menjadi lembaga internasional terbaru yang memangkas prediksi untuk pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Pemangkasan dilakukan karena kebijakan nol-Covid-19 di China dan perang Rusia-Ukraina berdampak pada harga energi dan pangan.

Tetapi OECD mengecilkan kemungkinan periode berkepanjangan yang disebut stagflasi.

Dilansir dari CNBC International, Kamis (9/6/2022) OECD memperkirakan bahwa PDB global hanya akan tumbuh 3 persen pada 2022, turun 1,5 persentase dari proyeksi pada Desember 2021.

"Invasi di Ukraina, bersama dengan penutupan di kota-kota besar dan pelabuhan di China karena kebijakan nol-Covid-19, telah menghasilkan serangkaian guncangan baru yang merugikan," kata organisasi yang berbasis di Paris itu dalam prospek ekonomi terbarunya.

Perang Rusia-Ukraina memicu penurunan besar pada ekonomi global, tetapi kebijakan nol-Covid-19 di China - strategi yang digunakan Beijing untuk mengendalikan Virus Corona dengan lockdown yang ketat, juga menjadi hambatan pada pertumbuhan global mengingat pentingnya peran negara itu dalam rantai pasokan internasional dan konsumsi secara keseluruhan.

OECD mengatakan dalam laporannya pada Rabu (8/6) bahwa penurunan peringkat, sebagian, "mencerminkan penurunan yang mendalam di Rusia dan Ukraina."

"Tetapi pertumbuhan akan jauh lebih lemah dari yang diharapkan di sebagian besar negara ekonomi, terutama di Eropa, di mana embargo impor minyak dan batu bara dari Rusia dimasukkan dalam proyeksi untuk 2023," ungkap organisasi tersebut. 

Adapun Bank Dunia yang pada Selasa (7/6) juga memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen tahun ini – perkiraan lebih rendah dari angka sebelumnya yaitu 4,1 persen yang dikeluarkan pada Januari 2022.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ekonomi Eropa Bakal Tumbuh 2,6 Persen

Uni Eropa pada akhir Mei 2022 bergerak untuk memberlakukan embargo pada minyak di Rusia, setelah menyetujui bulan sebelumnya untuk juga menghentikan pembelian batubara dari negara tersebut.

Di sisi lain, blok tersebut sangat bergantung pada bahan bakar fosil Rusia dan memotong beberapa pasokan ini dalam semalam akan memiliki dampak ekonomi yang signifikan.

Meski demikian, zona euro, wilayah 19 negara yang menggunakan mata uang euro, dan Amerika Serikat tidak jauh berbeda dalam hal pandangan ekonomi mereka.

OECD menyebutkan, ekonomi Eropa akan tumbuh 2,6 persen tahun ini dan AS akan berkembang sebesar 2,5 persen.

Sementara Inggris, di mana krisis biaya hidup juga merupakan masalah ekonomi, PDB negara itu diramal bakal tumbuh sebesar 3,6 persen tahun ini sebelum merosot ke nol tahun depan.

"Inflasi (di Inggris) akan terus meningkat dan mencapai puncaknya di atas 10 persen pada akhir tahun 2022 karena berlanjutnya kekurangan tenaga kerja dan pasokan serta harga energi yang tinggi, sebelum secara bertahap turun menjadi 4,7 persen pada akhir tahun 2023," kata OECD.

3 dari 3 halaman

OECD Tidak Melihat Ekonomi Dunia Bakal Stagflasi Imbas Covid-19 di China dan Perang Rusia-Ukraina

Sementara itu, ramalan ekonomi negara-negara berkembang di sebut akan melihat penurunan, terutama karena mereka diperkirakan paling dirugikan oleh kekurangan pasokan makanan.

"Di banyak ekonomi pasar berkembang, risiko kekurangan pangan tinggi mengingat ketergantungan pada ekspor pertanian dari Rusia dan Ukraina," kata OECD. 

Mathias Cormann, sekretaris jenderal OECD, mengatakan bahwa terlepas dari lingkungan ekonomi yang sulit, ia tidak melihat ekonomi global menuju periode stagflasi - di mana ekonomi melihat inflasi tinggi dan pengangguran tinggi di samping permintaan yang stagnan seperti yang dialami pada era 1970-an.

"Kami memang melihat beberapa kesamaan dengan pengalaman di tahun 1970-an tetapi kami tidak menggunakan istilah stagflasi, kami tidak percaya itu adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang kami amati dalam ekonomi global sekarang," katanya kepada Charlotte Reed dari CNBC.

“Pada dasarnya sebagian besar negara telah melalui empat kuartal pertumbuhan yang sangat kuat dan ya kami memiliki inflasi, kami memperkirakan inflasi yang meningkat dan akan bertahan lebih lama, tetapi kami berharap masalah itu akan mereda sepanjang paruh kedua tahun 2022 hingga akhir tahun 2023," tambah dia.  Cormann. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.