Sukses

Menilik Dampak Kenaikan Suku Bunga The Fed ke Ekonomi RI, Apa Saja?

Kenaikan suku bunga The Fed tentunya akan memberikan dampak kepada Indonesia, salah satunya pada nilai tukar rupiah, di mana rupiah akan terdepresiasi atau melemah.

Liputan6.com, Jakarta Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,5 persen. Selain itu, The Fed juga menargetkan suku bunga dana federal berada di kisaran 0,75 persen hingga 1 persen.

Kebijakan tersebut ditempuh untuk menetralisir kondisi inflasi AS, dimana pada Maret 2022 kenaikan year on year (yoy) inflasi AS telah mencapai 8,4 persen atau rekor tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Sebagai upaya lanjutan, selain kenaikan suku bunga, The Fed juga berencana menyusutkan neraca gemuk mereka yang sudah menyentuh USD 9 triliun mulai 1 Juni 2022 mendatang.

Pasar keuangan global pun langsung merespons negatif. Pasalnya, inflasi global sampai saat ini masih belum bisa dikendalikan, mulai dari peningkatan inflasi terkait dampak perang Rusia-Ukraina dan terhambatnya rantai pasokan dari Cina terkait isolasi Covid yang sangat ketat, hingga langkah Uni Eropa yang menghentikan impor minyak dari Rusia.

Kenaikan suku bunga ini tentunya juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Dengan naiknya suku bunga The Fed, Bank Indonesia (BI) tentu akan mengikuti kenaikan ini dengan menaikkan suku bunga acuannya.

Hal ini akan memicu terjadinya tekanan ekonomi di Indonesia karena konsumen belum siap menghadapi kenaikan suku bunga.

Pasalnya, kenaikan suku bunga The Fed akan meningkatkan beban masyarakat Indonesia, di mana bunga KPR, bunga kredit kendaraan bermotor, hingga bunga pinjaman modal usaha akan mengalami kenaikan juga. 

CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani, mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed tentunya akan memberikan dampak kepada Indonesia, salah satunya pada nilai tukar rupiah, di mana rupiah akan terdepresiasi atau melemah.

Akan tetapi, kekuatan nilai tukar tidak hanya dapat ditentukan oleh faktor global namun juga fundamental ekonomi suatu negara.

“Oleh karena itu, pemerintah dan Bank Indonesia harus bersiap diri. Di sisi APBN, pelemahan rupiah dapat membebani pembayaran hutang dan obligasi dalam dolar, sedangkan dari sisi moneter BI harus dapat menjaga volatilitas dan arus modal asing sehingga pelemahan rupiah dapat tertahan pada level yang masih tergolong aman," jelas dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (4/6/2022).

Kebijakan suku bunga The Fed akan mendorong larinya aliran modal dari negara berkembang termasuk Indonesia ke AS, yang memungkinkan terjadinya capital outflow dimana rupiah akan semakin melemah.

Bila rupiah melemah, beliau menjelaskan maka beban utang pemerintah akan meningkat karena banyaknya utang pemerintah dalam bentuk mata uang asing.  

“Pemulihan ekonomi dan kuatnya fundamental Indonesia akan tetap menjadi penopang pasar saham dan obligasi Indonesia ke depannya”, tutup Johanna. 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

The Fed Perketat Kebijakan Moneter, Apa Dampaknya ke Indonesia?

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan The Fed sudah mulai mengambil langkah kebijakan moneter untuk mengatasi lonjakan inflasi di Amerika Serikat.

Salah satunya dengan menghentikan quantitative easing yang diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan, serta pengurangan balance sheet secara signifikan.

"Hal ini berpotensi membuat likuiditas global semakin ketat," kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna ke-24 di Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa (31/5).

Kombinasi dari kebijakan tingkat bunga dan penyesuaian balance sheet tersebut telah mendorong peningkatan yield surat utang yang berbasis US Treasury. Hal ini tentu saja akan memengaruhi berbagai kebijakan dan juga berpengaruh pada negara maju lainnya.

Sehingga berpotensi membuat volatilitas di pasar keuangan global meningkat. Mendorong keluarnya arus modal seiring dengan peningkatan risiko yang terjadi di negara berkembang.

Termasuk membuat cost of fund menjadi lebih tinggi. Selain itu, kebijakan dolar kuat (strong dollar policy) juga ditempuh oleh AS untuk mengatasi inflasi.

"Kombinasi tingginya suku bunga dan dolar yang kuat akan menyebabkan bertambah ketatnya akses pembiayaan serta meningkatnya beban pembayaran utang (debt services)," kata dia.

3 dari 4 halaman

Kejadian di 2018

Berkaca pada peristiwa serupa di tahun 2018 lalu. Hal ini akan sangat berdampak pada cost of fund pemerintah. Sehingga kenaikan imbal hasil pada SBN tidak bisa lagi terhindarkan.

"Peningkatan tersebut akan berdampak pada peningkatan beban bunga APBN," ungkapnya.

Apalagi di tengah ketidakpastian global saat ini, diperkirakan kebijakan serupa akan terus diambil The Fed di tahun 2023. Sehingga mau tidak mau pemerintah harus meningkatkan tingkat suku bunga SBN 10 Tahun yang lebih tinggi daripada tahun 2022.

Namun demikian, kata dia, Pemerintah secara konsisten mengupayakan agar dapat menekan peningkatan suku bunga. Tujuannya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan menekan biaya utang dalam jangka panjang.

Selain itu pengembangan pasar keuangan dilakukan secara konsisten untuk mendorong terciptanya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Sehingga berdampak dapat memberikan imbal hasil yang relatif rendah bagi Pemerintah.

"Kementerian Keuangan bersama dengan anggota KSSK lainnya (BI, OJK dan LPS), berkomitmen untuk memperkuat koordinasi dan sinergi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, menjaga volatilitas suku bunga serta menjaga pergerakan nilai tukar rupiah pada kisaran yang ditargetkan agar memberikan kepastian bagi para pelaku ekonomi," pungkasnya.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com 

4 dari 4 halaman

Ekspektasi Kenaikan Suku Bunga

Ahli strategi DailyFX Michael Boutros, menambahkan, ekspektasi kenaikan suku bunga yang lebih curam kembali meningkat. Sehingga pasar harus menilai ulang prospek suku bunga Fed.

“Ada keraguan bahwa 50bps pada tingkat inflasi ini akan cukup. Jika kenaikan 75bps Fed disesuaikan lagi, itu akan menjadi angin sakal untuk emas. Emas terjebak sideways saat kita menunggu cerita itu akan muncul," kata Boutros kepada Kitco News.

Gagasan bahwa Fed membuat kesalahan kebijakan dengan bertindak terlalu lambat menjadi lebih umum, tambahnya. Mereka perlu istirahat dan mempercepat kenaikan suku bunga lebih cepat. Pada titik ini, mereka sudah terlambat.

Inilah sebabnya mengapa emas berada di posisi yang sulit dan dapat berisiko mengalami aksi jual lebih lanjut di bawah level USD 1.800 per ounce, terutama jika ada penutupan di bawah level USD 1.791.

"Dengan apa yang kami lihat di pasar ekuitas, Anda akan mengharapkan emas untuk menangkap tawaran beli. Kami melakukannya minggu ini, tetapi reli tidak mengesankan. Dari sudut pandang teknis, kami berisiko menguji posisi terendah. Level USD 1.781 atau lebih dalam masih ada di atas meja," kata Boutros. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.