Sukses

Covid-19 di China dan Perang Rusia-Ukraina Bikin Bisnis AS Lesu pada Mei 2022

Aktivitas bisnis AS melambat pada Mei 2022. Kelambanan ini dipicu oleh harga yang tinggi, lockdown COVID-19 di China hingga perang Rusia-Ukraina.

Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas bisnis Amerika Serikat melambat secara moderat pada bulan Mei 2022, dipicu oleh harga yang lebih tinggi mendinginkan permintaan untuk layanan sementara kendala pasokan baru karena lockdown Covid-19 di China.

Selain Covid-19 di China, perang Rusia-Ukraina yang menghambat produksi di pabrik juga menjadi salah satu faktor lambannya aktivitas bisnis AS.

Dikutip dari US News, Rabu (25/5/2022) S&P Global mengatakan bahwa Indeks Output IMP Komposit AS, yang melacak sektor manufaktur dan jasa, turun ke angka 53,8 bulan ini dari yang semula 56,0 pada bulan April.

Laju pertumbuhan itu, yang merupakan yang paling lambat dalam empat bulan, dikaitkan dengan "tekanan inflasi yang meningkat, penurunan lebih lanjut dalam waktu pengiriman pemasok dan pertumbuhan permintaan yang lebih lemah."

Sementara itu, angka di atas 50 menunjukkan ekspansi di sektor swasta.

Indeks tetap konsisten dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat di pertengahan kuartal kedua.

Ekonomi AS juga telah mengalami kontraksi pada kuartal pertama di bawah beban rekor defisit perdagangan, meskipun permintaan domestik tetap solid karena rumah tangga meningkatkan pengeluaran dan bisnis meningkatkan investasi.

Harga konsumen tahunan AS pun meningkat pada kecepatan tercepat dalam 40 tahun, mendorong Federal Reserve untuk mulai menaikkan suku bunga pada bulan Maret dan semakin mengadopsi postur kebijakan moneter yang agresif.

"Perusahaan melaporkan bahwa permintaan datang di bawah tekanan dari kekhawatiran atas biaya hidup, suku bunga yang lebih tinggi dan perlambatan ekonomi yang lebih luas," kata Chris Williamson, kepala ekonom bisnis di S&P Global Market Intelligence.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pebisnis AS dan Eropa Menjerit Terkena Dampak Lockdown Covid-19 di China

Kelompok-kelompok yang mewakili bisnis dari negara Barat di China mendesak Beijing untuk melonggarkan pembatasannya terkait Covid-19, ketika lockdown yang ketat berdampak pada pendapatan dan investasi mereka.

Selain itu, semakin banyak perusahaan asing di China yang terpaksa mempertimbangkan mengalihkan operasi mereka di Shanghai karena diberlakukannya lockdown Covid-19 - sejak akhir Maret 2022.

Dilansir dari CNN Business, lebih dari 50 persen bisnis Amerika telah menunda atau mengurangi investasi mereka di China sebagai akibat dari wabah Covid-19 baru-baru ini, menurut sebuah survei yang diterbitkan oleh American Chamber of Commerce di China.

Survei yang dilakukan dari 29 April hingga 5 Mei 2022 ini, melibatkan 121 perusahaan AS di China. Survei ini juga merinci dampak lockdown Covid-19 di Shanghai pada perusahaan-perusahaan Amerika.

Sebanyak 58 persen responden telah memangkas proyeksi pendapatan 2022 di China. 

Selain itu, hampir setengahnya mengatakan pekerja asing secara signifikan lebih kecil kemungkinannya atau menolak pindah ke China karena kebijakan nol Covid-19.

"Kami memahami China memilih untuk memprioritaskan kesehatan dan keselamatan di atas segalanya, tetapi langkah-langkah saat ini menekan kepercayaan bisnis AS di China," kata Colm Rafferty, ketua American Chamber of Commerce di China, dalam sebuah pernyataan yang menyertai hasil survei.

"Perusahaan anggota kami mendesak pemerintah untuk mencapai keseimbangan yang lebih optimal antara pencegahan pandemi, pembangunan ekonomi, dan keterbukaan negara," tambahnya.

3 dari 3 halaman

Imbas Lockdown Covid-19, Airbnb Terpaksa Angkat Kaki dari China

Airbnb menutup persewaan domestiknya di China, di mana kebijakan nol-Covid-19 dan lockdown untuk menekan penularan Virus Corona berlangsung.

Dilansir dari BBC, Selasa (24/5/2022) sebuah sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan bahwa semua daftar untuk rumah di China akan dihapus dari situs web Airbnb pada musim panas mendatang. 

Airbnb mengungkapkan, penginapan di China hanya menghasilkan 1 persen dari pendapatannya selama beberapa tahun terakhir.

Perusahaan itu saat ini justru fokus pada warga China yang bepergian ke luar negeri ke destinasi lain.

Sebagai informasi, Airbnb mendirikan bisnisnya di China pada tahun 2016.

Sejak itu, sekitar 25 juta tamu atau pengguna Airbnb telah memesan penginapan di China melalui persewaan rumah online.

Tetapi sumber yang mengetahui keputusan perusahaan membeberkan bahwa operasi sewa domestik untuk pelancong yang mengunjungi China saat ini rumit dan mahal untuk dijalankan bahkan sebelum pandemi.

Misalnya, rincian tamu dikirim ke pemerintah China sesuai dengan undang-undang dan peraturan setempat, dan perusahaan telah menghadapi persaingan yang kuat dari platform persewaan lokal.

Sebelum pandemi Covid-19, pelancong China yang menuju ke luar negeri telah meningkat tiga kali lipat dalam waktu kurang dari satu dekade, dengan 155 juta perjalanan pada 2019, menurut Organisasi Pariwisata Dunia PBB.

Tetapi sejak tahun 2020, China memberlakukan beberapa pembatasan Covid-19 terberat di dunia, membuat perjalanan ke dan di sekitar negara itu sangat sulit.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.