Sukses

Sanksi Terbaru, AS Larang Rusia Bayar Utang Lewat Bank Amerika

Amerika Serikat akan melarang Rusia membayar pemegang obligasi melalui bank-bank Amerika mulai Rabu (25/5).

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat akan melarang Rusia membayar dana kepada pemegang obligasi melalui perbankan Amerika mulai Rabu pagi waktu setempat, dalam sanksi terbaru atas perang di Ukraina.

Langkah tersebut diungkapkan Departemen Keuangan AS. Keputusan terbaru ini meningkatkan kemungkinan bahwa Rusia akan gagal bayar atas utang yang belum lunas, seperti dilansir dari CNBC INternational, Rabu (25/5/2022).

Sejak konflik di Ukraina pecah, pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah memberikan pengecualian penting soal sanksi terhadap bank sentral Rusia, yang memungkinkan mereka memproses pembayaran kepada pemegang obligasi melalui bank-bank AS dan internasional.

Tetapi pengecualian itu akan diberhentikan pada Rabu (25/5) hari ini, menurut buletin yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan AS berjudul "Notice on Russian Harmful Foreign Activities Sanctions General License 9C" atau "Pemberitahuan tentang Lisensi Umum Sanksi Kegiatan Asing Berbahaya Rusia 9C".

Penelitian JPMorgan Chase & Co. mengatakan Russa menghadapi pembayaran obligasi berdenominasi dolar hampir sebesar USD 400 juta atau setara Rp. 5,8 triliun pada 23 Juni dan 24 Juni, menurut laporan Dow Jones.

Timothy Ash, ahli strategi kedaulatan senior di BlueBay Asset Management, awal bulan ini mengatakan kepada CNBC bahwa Kantor Pengawasan Aset Asing Departemen Keuangan AS, yang mengelola sanksi ekonomi dan perdagangan, "dapat bertindak kapan saja untuk menghentikan institusi Barat memproses pembayaran obligasi" oleh Rusia .

“OFAC dapat memaksa Rusia ke default kapan saja. OFAC masih di kursi pengemudi," ujar Timothy Ash.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Mau Gagal Bayar Utang, Rusia Terpaksa Kuras Cadangan Dolar AS

Rusia berhasil menghindari gagal bayar utang atau default dengan melakukan pembayaran dalam dolar AS. 

Pembayaran obligasi internasional Rusia senilai USD 650 juta atau Rp 9,3 triliun yang awalnya jatuh tempo pada 4 April.

Dikonfirmasi oleh seorang pejabat Amerika Serikat, pembayaran itu terjadi tak lama sebelum batas waktu terakhir berlalu pada 4 Mei.

"Rusia terpaksa memilih antara menguras sisa cadangan dolar mereka yang berharga atau pendapatan baru yang masuk, atau gagal bayar," kata pejabat AS yang tidak diungkapkan identitasnya, dikutip dari BBC, Rabu (4/5/2022). 

"Rusia telah melakukan pembayaran utang mereka menggunakan dana yang terletak di luar AS atau yurisdiksi mitra lainnya. Cadangan berharga ini telah secara permanen meninggalkan Rusia dan dapat lebih lama digunakan untuk mendanai invasi mereka ke Ukraina," lanjut pejabat itu.

Pembayaran ini juga sudah diterima di beberapa rekening investor, menurut sumber yang tidak disebutkan namanya yang dikutip oleh kantor berita Reuters.

Sebelumnya, pertemuan Komite Penentuan Derivatif Kredit untuk Eropa, Timur Tengah dan Afrika bertemu pada Selasa (3/5) membahas kemungkinan Rusia telah gagal membayar utangnya, dan oleh karena itu investor yang telah membeli Credit Default Swaps, suatu bentuk asuransi terhadap non-pembayaran, dapat mulai mengajukan klaim.

Di sisi lain, default Rusia kemungkinan tidak dapat dihindari secara permanen.

Rusia saat ini masih memiliki obligasi internasional sekitar sekitar 40 USD miliar dan mungkin mengalami kesulitan melakukan pembayaran utang setelah 25 Mei 202, ketika ketentuan Departemen Keuangan AS yang mengizinkan bunga dan pembayaran utang berakhir.

Jika gagal bayar, ini akan akan menjadi pertama kalinya Rusia gagal membayar utang pemerintahnya sejak 1998 - krisis ekonomi di akhir masa jabatan Presiden Yeltsin saat itu.

3 dari 3 halaman

Terkuak, China dan AS Justru Punya Utang Terbanyak

Data dari Institute of International Finance (IIF) menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan China mengambil pinjaman atau utang paling banyak pada kuartal pertama.

Utang global pun naik ke rekor di atas USD 305 triliun, sementara rasio utang terhadap output secara keseluruhan menurun. 

Dilansir dari Channel News Asia, utang China naik sebesar USD 2,5 triliun selama kuartal pertama dan Amerika Serikat menambahkan utang hingga USD 1,5 triliun, menurut data dari Institute of International Finance. 

Berbeda dengan dua negara ekonomi terbesar dunia, total utang di negara-negara zona euro menurun untuk kuartal ketiga berturut-turut.

Analisis menunjukkan banyak negara, baik negara berkembang maupun maju, memasuki siklus pengetatan moneter - dipimpin oleh Federal Reserve AS - dengan tingkat utang berdenominasi dolar yang tinggi.

"Ketika bank sentral bergerak maju dengan pengetatan kebijakan untuk mengekang tekanan inflasi, biaya pinjaman yang lebih tinggi akan memperburuk kerentanan utang," kata laporan IIF.

"Dampaknya bisa lebih parah bagi peminjam pasar berkembang yang memiliki basis investor yang kurang terdiversifikasi," ungkap laporan tersebut.

Utang korporasi di luar bank dan pinjaman pemerintah menjadi sumber terbesar peningkatan pinjaman, dengan utang di luar sektor keuangan naik di atas USD 236 triliun - sekitar USS 40 triliun lebih tinggi dari dua tahun lalu ketika pandemi Covid-19 melanda.

Menurut IIF, utang pemerintah meningkat lebih lambat pada periode yang sama, tetapi karena biaya pinjaman meningkat, neraca negara tetap berada di bawah tekanan.

"Dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah yang masih berjalan jauh di atas tingkat pra-pandemi, harga komoditas yang lebih tinggi dan lebih bergejolak dapat memaksa beberapa negara untuk meningkatkan pengeluaran publik lebih jauh untuk menangkal kerusuhan sosial," beber IIF.

"Ini mungkin sangat sulit bagi pasar negara berkembang yang memiliki ruang fiskal lebih sedikit," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.