Sukses

Terkuak, China dan AS Justru Punya Utang Terbanyak

Data terbaru IIF menunjukkan AS dan China mengambil pinjaman paling banyak pada kuartal pertama.

Liputan6.com, Jakarta - Data dari Institute of International Finance (IIF) menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan China mengambil pinjaman atau utang paling banyak pada kuartal pertama.

Utang global pun naik ke rekor di atas USD 305 triliun, sementara rasio utang terhadap output secara keseluruhan menurun. 

Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (19/5/2022) utang China naik sebesar USD 2,5 triliun selama kuartal pertama dan Amerika Serikat menambahkan utang hingga USD 1,5 triliun, menurut data dari Institute of International Finance. 

Berbeda dengan dua negara ekonomi terbesar dunia, total utang di negara-negara zona euro menurun untuk kuartal ketiga berturut-turut.

Analisis menunjukkan banyak negara, baik negara berkembang maupun maju, memasuki siklus pengetatan moneter - dipimpin oleh Federal Reserve AS - dengan tingkat utang berdenominasi dolar yang tinggi.

"Ketika bank sentral bergerak maju dengan pengetatan kebijakan untuk mengekang tekanan inflasi, biaya pinjaman yang lebih tinggi akan memperburuk kerentanan utang," kata laporan IIF.

"Dampaknya bisa lebih parah bagi peminjam pasar berkembang yang memiliki basis investor yang kurang terdiversifikasi," ungkap laporan tersebut.

Utang korporasi di luar bank dan pinjaman pemerintah menjadi sumber terbesar peningkatan pinjaman, dengan utang di luar sektor keuangan naik di atas USD 236 triliun - sekitar USS 40 triliun lebih tinggi dari dua tahun lalu ketika pandemi Covid-19 melanda.

Menurut IIF, utang pemerintah meningkat lebih lambat pada periode yang sama, tetapi karena biaya pinjaman meningkat, neraca negara tetap berada di bawah tekanan.

"Dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah yang masih berjalan jauh di atas tingkat pra-pandemi, harga komoditas yang lebih tinggi dan lebih bergejolak dapat memaksa beberapa negara untuk meningkatkan pengeluaran publik lebih jauh untuk menangkal kerusuhan sosial," beber IIF.

"Ini mungkin sangat sulit bagi pasar negara berkembang yang memiliki ruang fiskal lebih sedikit," tambahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kurangnya Transparansi

Selain itu, IIF juga menyebut, kurangnya transparansi menjadi beban bagi pasar negara berkembang, di mana total utang mendekati USD 100 triliun dari semula USD 89 triliun tahun lalu.

"Kurangnya pengungkapan kewajiban utang publik yang tepat waktu, cakupan kewajiban kontinjensi yang sangat terbatas (termasuk kewajiban BUMN) dan penggunaan klausul kerahasiaan yang ekstensif adalah hambatan utama yang menyebabkan asimetri informasi antara kreditur dan debitur," kata laporan IIF, mencatat bahwa hal itu mendorong biaya pinjaman lebih tinggi sambil membatasi akses ke pasar modal swasta untuk peminjam EM.

Rasio utang terhadap PDB global turun menjadi 348 persen, sekitar 15 poin persentase di bawah rekor yang ditetapkan tahun lalu, dengan perbaikan besar terlihat di negara-negara Uni Eropa.

Adapun Vietnam, Thailand dan Korea yang mencatat kenaikan terbesar dalam ukuran itu, kata IIF.

"Pertumbuhan diperkirakan akan melambat secara signifikan tahun ini, dengan implikasi yang merugikan bagi dinamika utang," kata laporan IIF.

"Di balik penguncian ketat di China dan kondisi pendanaan global yang lebih ketat, perlambatan yang diantisipasi kemungkinan akan membatasi atau bahkan membalikkan tren penurunan rasio utang," demikian laporan IIF. 

3 dari 3 halaman

Pemerintah Tarik Utang Maksimal Rp 596,7 Triliun di 2023

Pemerintah tidak akan menarik utang besar di tahun depan. Rencananya, di 2023 pemerintah hanya akan menarik utang sekitar Rp 526,6 triliun sampai Rp 596,7 triliun.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menjelaskana, penarikan utang pemerintah akan menurun drastis. 

"Tahun depan utang kita kurangi menjadi minimal Rp 526 triliun dan maksimal Rp 596,7 triliun," kata Suahasil dalam Rakorbangpus 2022: Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah 2023, Jakarta, Kamis (21/4/2022).

Penurunan penarikan utang ini bermakna APBN akan mulai dikonsolidasikan. Pengeluaran pembangunan, kementerian/lembaga dan TKDD harus dikendalikan. Apalagi mulai tahun ini pemerintah mengimplementasikan UU perpajakn yang baru dan UU HKPD.

"Bukan dikurangi tapi dibuat lebih efisien dan efektif," kata dia.

Sebaliknya, pendanaan pembangunan akan memanfaatkan peran swasta, BLU hingga SWF untuk meningkatkan investasi di perekonomian nasional.

"Jadi APBN kita kurangi dan dikonsolidasikan tanpa mengurangi belanja dan kemudian APBN bisa siap sedia lagi untuk menanggulangi fleksibel pembangunan kita," katanya.

Sebagai informasi, sejak tahun 2020 penarikan utang pemerintah terus membengkak. Tahun 2020 pemerintah tambah utang Rp 1.193,3 triliun. Naik hingga 196,8 persen dari posisi Rp 402,1 triliun.

Di tahun 2021 pemerintah melakukan penarikan utang sebanyak Rp 871,7 triliun. Kontraksi hingga -26,9 persen. Lalu tahun ini Rp 868,0 triliun. Dia berharap tahun ini penarikan utang pemerintah di bawah yang ditetapkan dalam APBN.

"Ini kita upayakan lebih rendah realisasinya dari Rp 868 triliun," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.