Sukses

Lockdown Covid-19 di China Bikin Kekayaan Bos Baterai Kendaraan Listrik Anjlok

Lockdown Covid-19 di sejumlah kota membuat kekayaan bos raksasa baterai di China menurun.

Liputan6.com, Jakarta - Pimpinan raksasa baterai China Kontemporer Amperex Technology (CATL), yakni Robin Zeng, mengumpulkan kekayaan USD 45 miliar karena perusahaannya memasok banyak produk ke pasar kendaraan listrik yang sedang booming.

Tetapi dalam sebulan, lonjakan biaya dan lockdown terkait Covid-19 di China telah membuat hampir sepertiga kekayaan miliarder itu menurun.

Dilansir dari Forbes, Rabu (11/5/2022) kekayaan Zeng (53) turun 27 persen atau USD 12,2 miliar - menjadi USD 32,6 miliar. 

Penurunan kekayaan ini terjadi ketika saham CATL yang terdaftar di Shenzhen, di mana Zeng memiliki 24,4 persen saham, anjlok beruntun karena diperas oleh meroketnya biaya bahan baku menyusul lockdown Covid-19 di sejumlah kota di China.

Untuk Ningde, CATL dan perusahaan pembuat baterai di China lainnya, pertanyaan utama saat ini adalah bagaimana mengamankan cukup lithium, yang merupakan elemen penting membuat baterai isi ulang untuk kendaraan listrik.

Indeks harga lithium telah naik 130 persen dalam lima bulan pertama tahun ini, setelah melonjak 280 persen tahun lalu, menurut penyedia data Benchmark Mineral Intelligence.

Yale Zhang, direktur pelaksana konsultan Automotive Foresight yang berbasis di Shanghai, mengatakan perlu waktu dua tahun sebelum pasokan lithium dapat secara bertahap dikejar. 

Menurutnya, meski ada cadangan lithium yang cukup di Bumi (terutama di Australia, Amerika Latin, dan China) membuka tambang baru dan memurnikan ekstrak untuk tingkat yang dapat digunakan akan membutuhkan biaya yang mahal dan memakan waktu.

Zeng, sementara itu, juga tidak dapat menaikkan harga baterai CATL sesuka hati. 

Perusahaan ini adalah produsen baterai terbesar di dunia dengan 35 persen pangsa pasar dalam hal penjualan secara global, dan termasuk pembuat mobil termasuk BMW, Geely dan Tesla di antara pelanggannya, tetapi menghadapi persaingan yang meningkat dari LG Energy Solution di Korea Selatan (16 persen) dan BYD China (11 persen).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

CATL Tak Dapat Naikkan Harga Karena Kekhawatiran Minat Konsumen Surut

Bill Russo, pendiri perusahaan konsultan Automobility yang berbasis di Shanghai, mengatakan pembuat mobil, terutama di China, tidak mau membebankan biaya lebih kepada konsumen, karena hal itu dapat mengikis daya tarik banyak model entry-level.

"Jika Anda (CATL) tidak dapat mentransfer inflasi harga ke pasar, maka Anda akan berakhir dengan bisnis yang kurang menguntungkan daripada yang diantisipasi," katanya.

Terlihat pada kuartal pertama tahun ini, CATL membuat investor khawatir dan melaporkan penurunan laba bersih sebesar 24 persen menjadi 1,5 miliar yuan (USD 223 juta), meskipun penjualan naik 154 persen menjadi 48,7 miliar yuan.

Tahun ini, saham perusahaan yang dulunya sangat berharga turun 35 persen, dan Wakil Ketua perusahaan Huang Shilin, yang juga seorang miliarder, telah kehilangan kekayaannya hingga USD 5,5 miliar sejak dirilisnya peringkat miliarder dunia pada bulan April 2022.

Zhang Junyi, mitra konsultan Oliver Wyman yang berbasis di Shanghai, mengatakan CATL juga menghadapi permintaan yang melambat untuk produknya.

Lockdown di Shanghai, yang juga merupakan pusat manufaktur mobil utama, telah melumpuhkan sektor otomotif lokal, menurut Fitch Ratings.

Pada bulan April, penjualan ritel di pasar mobil China turun tajam 35 persen dari tahun ke tahun menjadi 1,05 juta unit, karena lockdown membuat aktivitas perakitan terhenti. Masalah ini membuat calon pembeli tidak bisa mengunjungi showroom dan menekan permintaan, menurut perkiraan China Passenger Car Association.

Tesla, misalnya, menghadapi gangguan pasokan di pabriknya di Shanghai.

3 dari 3 halaman

Pebisnis AS Menjerit Terkena Dampak Lockdown Covid-19 di China

Kelompok-kelompok yang mewakili bisnis dari negara Barat di China mendesak Beijing untuk melonggarkan pembatasannya terkait Covid-19, ketika lockdown yang ketat berdampak pada pendapatan dan investasi mereka.

Selain itu, semakin banyak perusahaan asing di China yang terpaksa mempertimbangkan mengalihkan operasi mereka di Shanghai karena diberlakukannya lockdown Covid-19 - sejak akhir Maret 2022.

Dilansir dari CNN Business, Selasa (10/5/2022) lebih dari 50 persen bisnis Amerika telah menunda atau mengurangi investasi mereka di China sebagai akibat dari wabah Covid-19 baru-baru ini, menurut sebuah survei yang diterbitkan oleh American Chamber of Commerce di China.

Survei yang dilakukan dari 29 April hingga 5 Mei 2022 ini, melibatkan 121 perusahaan AS di China. Survei ini juga merinci dampak lockdown Covid-19 di Shanghai pada perusahaan-perusahaan Amerika.

Sebanyak 58 persen responden telah memangkas proyeksi pendapatan 2022 di China. 

Selain itu, hampir setengahnya mengatakan pekerja asing secara signifikan lebih kecil kemungkinannya atau menolak pindah ke China karena kebijakan nol Covid-19.

"Kami memahami China memilih untuk memprioritaskan kesehatan dan keselamatan di atas segalanya, tetapi langkah-langkah saat ini menekan kepercayaan bisnis AS di China," kata Colm Rafferty, ketua American Chamber of Commerce di China, dalam sebuah pernyataan yang menyertai hasil survei.

"Perusahaan anggota kami mendesak pemerintah untuk mencapai keseimbangan yang lebih optimal antara pencegahan pandemi, pembangunan ekonomi, dan keterbukaan negara," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.