Sukses

Gaungkan Produk Dalam Negeri, Fitofarmaka Bakal Masuk Skema JKN

Lewat Formularium Nasional Fitofarmaka, Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) Fitofarmaka dapat digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo untuk memprioritaskan belanja produk dalam negeri dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) tinggi demi membangun ketahanan dan kemandirian kesehatan.

Komitmen tersebut membuahkan hasil berupa Formularium Nasional Fitofarmaka sehingga Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) Fitofarmaka dapat digunakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI, Dr. Agusdini Banun Saptaningsih mengungkapkan bahwa Formularium Fitofarmaka akan diluncurkan pada bulan Mei 2022.

Menurut Agusdini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah menyetujui Formularium ini. Formularium Nasional ini akan memungkinkan klinisi di fasilitas pelayanan kesehatan untuk meresepkan Fitofarmaka kepada pasien.

“Setelah Fornas Fitofarmaka launching pada Mei 2022, Kemenkes akan mensosialisasikan ke wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur untuk fasilitas kesehatan agar membeli fitofarmaka,” kata Dr. Agusdini pada Webinar Diseminasi Hasil Kajian Kebijakan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia dikutip Sabtu (30/4/2022).

Selama ini OMAI Fitofarmaka terhalang masuk Formularium Obat-obatan Nasional untuk program JKN karena adanya Permenkes No 54/2018.

Meski sudah lolos uji klinis, Fitofarmaka masih dianggap sebagai obat tradisional karena terbuat dari bahan alam. Padahal sebenarnya fasilitas kesehatan di daerah bisa saja meresepkan Fitofarmaka untuk pasien melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).

Namun menurut Dr. Agusdini, penyerapan DAK di daerah belum maksimal, sehingga dengan diluncurkannya Formularium Fitofarmaka, penggunaan DAK untuk pengadaan OMAI Fitofarmaka bisa lebih maksimal. Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp1,43 triliun untuk mendorong penggunaan OMAI oleh seluruh Dinas Kesehatan di daerah.

“Kami agendakan ada 4 pekerjaan Kemenkes untuk sosialisasikan ke dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota untuk menggunakan dana sekitar Rp 1,43 triliun untuk membelanjakan sebagian DAK dan membeli fitofarmaka dan OHT di masing-masing dinas kesehatan,” ujarnya.

Penggunaan anggaran untuk pengadaan Fitofarmaka di Dinas Kesehatan daerah juga sejalan dengan Instruksi Presiden No 2 Tahun 2022 yakni guna mempercepat pembelian produk dalam negeri. Pengembangan produk Fitofarmaka juga sejalan dengan Permenkes No 17/2017 terkait 4 pilar pengembangan produk farmasi.

Fitofarmaka termasuk dalam pilar obat natural. Ia menambahkan, sebelumnya Tim Komite Nasional Formularium Fitofarmaka telah menyusun 24 item yang kemudian diringkas menjadi 7 indikasi kelas terapi. Dari angka tersebut, ada 5 indikasi kelas terapi yang disetujui masuk dalam Formularium Fitofarmaka.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pemerintah Fokus Hilirisasi Produk Dalam Negeri OMAI Fitofarmaka

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 400 triliun untuk belanja produk lokal melalui e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan toko daring, yang diharapkan bisa terealisasi maksimal di akhir 2022. Anggaran tersebut untuk pengadaan produk dalam negeri di semua sektor, termasuk sektor kesehatan.

Selain itu, pemerintah menggencarkan aksi afirmasi Peningkatan Pembelian dan Pemanfaatan Produk Dalam Negeri (P3DN) dalam rangka Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) salah satunya melalui kegiatan Business Matching.

“Business Matching tahap I di Bali itu terjadi komitmen belanja produk dalam negeri Rp 214 triliun. Sedangkan tahap II sudah terjadi business matching Rp539 triliun. Yang paling penting saya pikir bukan hanya sebut angka ini, tapi kita bisa mengeksekusi,” kata Menko Luhut di Gedung Smesco Exhibition Hall beberapa waktu lalu.

Menko Luhut melanjutkan bahwa pemerintah mendorong masyarakat untuk berkreasi menciptakan sesuatu yang memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama inovasi-inovasi di bidang kesehatan di tengah pandemi COVID-19. OMAI Fitofarmaka yang berasal dari alam Indonesia ini merupakan cerminan dari inovasi yang dijalankan industri farmasi nasional untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sementara itu Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Abdullah Azwar Anas menyebutkan progres capaian jumlah produk dalam e-katalog hingga awal April 2022 mencapai jumlah 259.828 produk dari target 200 ribu produk pada 31 Maret 2022. Pihaknya telah menyederhanakan regulasi terkait masuknya produk ke dalam e-katalog dari yang tadinya 8-9 tahap menjadi 2 tahap.

“Begitu pula dengan kepala daerah, sekarang e-Katalog lokal telah diberikan kewenangan dikelola oleh kepala daerah. Ini pun juga sama, dari sembilan proses (pencantuman barang dan jasa) sekarang tinggal dua proses,” ujarnya. Dengan kemudahan ini, diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan belanjanya untuk produk dalam negeri.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menargetkan belanja pengadaan barang dan jasa khusus di bidang kesehatan sebesar 78 persen dari dalam negeri.

''Presiden memberi target 40 persen, tapi kami minta kalau bisa ditingkatkan dari Rp 11 triliun menjadi Rp28 triliun. Jadi bukan 40 persen tapi 78 persen kita inginkan itu pembeliannya bisa di dalam negeri,'' ucap Menkes Budi.

Adapun langkah yang diambil Kementerian Kesehatan untuk memastikan berjalannya komitmen tersebut yakni dengan membuat transparansi, membuat e-katalog sektoral untuk produk obat dan alat kesehatan dalam negeri, serta melakukan pengawasan di lapangan.

 

3 dari 4 halaman

Prinsip TKDN

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Lucia Rizka Andalusia menambahkan, Kemenkes telah menerapkan prinsip tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

Jika sudah ada produk yang diproduksi dalam negeri maka tak akan dilakukan impor untuk jenis produk tersebut dan dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal.

"Dengan e-katalog sektoral tersebut kita sudah menerapkan penerapan perhitungan TKDN dan juga melakukan freeze terhadap produk-produk impor yang produknya sudah dapat diproduksi dalam negeri, baik itu untuk obat maupun alkes, jadi untuk vaksin pun nanti akan berlaku seperti itu," imbuhnya.

Dengan masuknya fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan formal termasuk di Jaminan Kesehatan Nasional, maka akan memicu industri dan para peneliti untuk terus mengembangkan fitofarmaka. Menurut Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM, Dra. Reri Indriani, Apt., M.Si saat ini baru terdapat 25 fitofarmaka yang terdaftar di Badan POM.

“Kami sangat menghargai lembaga peneliti dan pelaku usaha berbasis riset untuk mengembangkan OMAI. Sampai sejauh ini masih baru ada 25 fitofarmaka dan hanya 13 kelas terapi. Tentunya masih ada peluang besar di mana kebutuhan di hilir seharusnya dapat ditangkap di hulu mulai bahan bakunya, tanaman obat dan lainnya,” kata Reri dalam sebuah diskusi daring.

Guru Besar Fakultas Farmasi UI, Prof. Dr. Abdul Munim, M.Si., Apt menilai bahwa pengembangan OMAI Fitofarmaka di Indonesia mendapat dukungan dari pemerintah bahkan menjadi target kinerja beberapa Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, BPOM dan BRIN. Namun, kendala yang dihadapi industri adalah terkait biaya serta penyerapan produk di pasar.

“Di fitofarmaka, kendala yang sering dihadapi adalah biaya inovasi untuk pengembangan fitofarmaka. Di situ juga ada peran pihak universitas, dilihat idenya dari berbagai pihak, dan inovasi ini memerlukan modal yang sangat besar dan proses pengujiannya panjang,” kata Prof. Abdul Munim pada Webinar Phase UI ke-13 yang diselenggarakan oleh Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (UI) beberapa waktu lalu.

 

4 dari 4 halaman

Perkembangan OMAI Penuh Tantangan

Hal senada disampaikan Ketua Umum PDHMI, Dr. dr. Slamet Sudi Santoso, M.Pd Ked bahwa penyerapan obat-obat tradisional khususnya di dunia kedokteran menjadi masalah tersendiri untuk perkembangan OMAI di tanah air.

“Suatu produk farmasi di dalam proses pembuatan obat tradisional menjadi fitofarmaka itu tidak murah, tetapi kalau penggunanya yang meresepkan tidak ada, lama-lama perusahaan farmasi bisa tutup. Kalau dokter tidak mau paham pemakaian obat ini akan susah, padahal penelitian dan pengembangan produk ini cukup mahal agar dapat menjadi lebih aman dan efikasinya baik,” ujarnya.

Tersusunnya Formularium Fitofarmaka merupakan komitmen pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian kesehatan nasional di bidang farmasi.

Sebelumnya Kemenkes melalui Dirjen Pelayanan Kesehatan juga pernah mengeluarkan edaran kepada masyarakat untuk menggunakan obat herbal dalam menghadapi pandemi COVID-19. Kemenkes juga mendukung penggunaan obat dari bahan alam dengan menyediakan bahan baku melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.

Selain Kemenkes, Badan POM juga turut berperan aktif dalam melakukan pendampingan uji klinis sehingga obat dari bahan alam bisa mendapatkan sertifikasi Fitofarmaka.

Komitmen pemerintah ini juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Perindustrian No 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi, dengan demikian OMAI Fitofarmaka yang memiliki nilai TKDN tinggi rata-rata di angka 70 persen-90 persen wajib menjadi prioritas dalam pengadaan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.