Sukses

Indonesia Dapat Durian Runtuh di Tengah Krisis Global, Kok Bisa?

Indonesia disebut-sebut mendapatkan keuntungan besar dari kondisi krisis global.

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia sempat merilis mengenai kondisi dunia yang saat ini mengalami krisis ekonomi sangat parah. Salah satu akibatnya karena kenaikan harga komoditas.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, kondisi tersebut tak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Indonesia malah disebut-sebut mendapatkan keuntungan besar dari kondisi krisis global.

“Kita mengalami surplus (APBN) luar biasa, Maret saja mendapatkan sekitar USD 4,5 miliar. Itu tinggi sekali dibanding bulan sebelumnya. Kita dapat durian runtuh akibat kenaikan harga komoditas,” kata Faisal, Selasa (26/4/2022).

Kinerja perdagangan Indonesia menunjukkan performa yang impresif di tengah konflik Rusia-Ukraina. Tercatat pada bulan Maret 2022, nilai ekspor Indonesia mencapai USD26,50 miliar dan nilai ini meningkat signifikan sebesar 29,42 persen (mtm) atau sebesar 44,36 persen (yoy). Sementara itu di saat yang bersamaan, nilai impor Indonesia mencapai USD21,97 miliar dengan pertumbuhan sebesar 32,02 persen (mtm) atau 30,85 persen (yoy).

Faisal pun menanggapi cuitan terkait kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih parah dari tahun 1998 akibat kondisi ekonomi global. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak mendasar.

“Indikator kondisi saat ini lebih parah dari tahun ’98 itu apa? Karena kalau dilihat dari sisi ekonomi, kondisi saat ini tidak lebih parah dari ’98,” ujar Faisal.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Krisis Ekonomi

Salah satu lulusan terbaik ITB tahun 1998 itu menjelaskan, krisis ekonomi perlu dilihat dari beberapa indikator, diantaranya pertumbuhan ekonomi selama tiga kuwartal berturut-turut, tingkat inflasi, dan nilai tukar mata uang. Untuk saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia dikatakan terus membaik sejak mengalami pandemi Covid-19 sejak tahun 2020.

“Kontraksi pertumbuhan ekonomi selama tiga kuwartal berturut-turut, itu sudah terjadi pada tahun 2020, tapi 2021 sudah tidak. Dan sekarang prediksi kita tidak (terjadi krisis ekonomi). Sekarang sudah kembali ke zona pertumbuhan positif, walaupun belum menyamai tingkat pertumbuhan sebelum pandemic,” jelasnya.

Kemudian dari sisi inflasi, Indonesia dinilai masih aman. “Inflasi tahun 2020 hanya 1,5-1,6 persen, sedangkan tahun 98 inflasinya 78 persen, jadi jauh sekali perbedaannya,” tukas dia.

Faisal mengungkapkan, Indonesia tetap harus menjaga tingkat inflasi agar tetap stabil. Salah satu caranya dengan tetap menambal subsidi BBM jenis Pertalite.

“Saya khawatirkan itu saja satu, dampak dari inflasi jika pemerintah tidak meredamnya dengan menambal dari sisi subsidi (Pertalite) karena itu akan mengakibatkan inflasi yang besar sekali,” ungkap Faisal.

Terakhir dari indikator nilai mata uang, untuk kondisi saat ini masih stabil dibandingkan tahun 1998. “Depresiasi mata uang waktu itu dari Rp2.000 menjadi Rp16.000, pelemahannya luar biasa. Sementara sekarang mata uang kita relatif stabil di Rp14.000,” Tutup Faisal.

 

 

3 dari 4 halaman

Erick Thohir Ungkap 5 Tantangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membeberkan lima tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tantangan tersebut adalah disrupsi kesehatan, teknologi, demografi, lingkungan, hingga kondisi geopolitik dunia.

Kelima hal ini, kata dia, akan jadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Padahal Indonesia memiliki visi sebagai negara maju di 2045 mendatang. Artinya, kelima tantangan ini perlu disikapi dengan tepat.

“Ada lima tekanan yang jadi tantangan, bukan hanya Indonesia, tapi dunia. Pertama, ada disrupsi kesehatan, salah satunya kemarin kita menghadapi Covid-19, ini disrupsi kesehatan, siapa yang meng-guarantee (garansi) sepuluh tahun lagi tidak ada?” katanya dalam Kuliah Umum di Universitas Padjadjaran, Sabtu (23/4/2022).

“Kalau kita lihat dari sejarah manusia, itu selalu ada yang namanya pandemi, dan hari inipun masih banyak virus-virus yang belum menjadi endemi, polio masih AIDS masih. Untung saja covid-19 sudah menjadi endemi,” imbuh dia.

Selanjutnya, disrupsi teknologi yang juga menjadi tantangan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Alasannya ini berdampak langsung kepada terciptanya lapangan kerja. Erick mencoba mengutip sebuah penelitian yang dilakukan di tiga negara di dunia, yakni Amerika Serikat, Jerman, dan Italia.

“Akan lebih banyak pekerjaan yang hilang dibandingkan yang tumbuh, Amerika saja akan kehilangan 6,1 juta pekerjaan dengan kualitas pendidikan dengan kualitas daripada teknologi yang sangat maju, itu juga jadi ancaman kita,” katanya.

Tantangan ini semakin sejalan dengan adanya keadaan demografi indonesia hingga 2038 nanti. Erick menyebut secara berangsur meningkat, populasi indonesia akan didominasi oleh kalangan anak muda.

“Ini jumlah demografi kita itu 273 juta, dan trennya piramidanya akan seperti ini terus sampai 2038, artinya yang mudanya lebih banyak, nanti piramidanya seperti ini (piramida terbalik), seperti di Jepang yang tuanya lebih banyak, ini juga akan merubah pola kehidupan apa yang tadi adanya teknologi dan keseimbangan,” paparnya.

4 dari 4 halaman

Tantangan Lingkungan

Di sisi lain, kondisi lingkungan di dunia saat ini juga mengalami sejumlah faktor penghambat. Yang paling jadi perhatian yakni adanya perubahan iklim yang terus membayangi kegiatan didunia.

Erick menyebut, salah satu contohnya dengan adanya krisis pangan yang terjadi saat ini akibat dari cuaca yang tak menentu. Meski, saat ini masih terganggu akibat pandemi Covid-19.

“Tapi justru karena cuaca ekstrem banyak juga kegagalan panen. Alhamdulillah indonesia (sektor) pangannya kuat, luar biasa tahun ini. tapi kita tidak tahu tahun depan, lingkungan ini berubah, berarti ini juga satu adaptasi yang harus kita cermati,” paparnya.

Tantangan terakhir yang saat ini berdampak cukup besar terhadap sebagian negara-negara maju di dunia adalah dampak dari perang Rusia-Ukraina. Kondisi geopolitik ini berdampak secara langsung terhadap kenaikan harga komoditas di dunia, termasuk Indonesia yang terkena imbasnya.

“Ini akan memperlambat recovery, tambahan 2 tahun lagi prediksinya. Sekarang apa? Kemarin sudah ada statement-statement, seperti era globalisasi akan hilang, sekarang trennya lebih kepada regionalism apakah itu Asia Tenggar, apakah kita yang sangat dibutuhkan,” katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.