Sukses

Ditjen Migas Gelar Webinar Bertajuk Making CCS/CCUS Affordable dalam Rangkaian G20 Side Event

Dalam rangkaian Side Event G20 Indonesia, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM menyelenggarakan Webinar yang bertajuk "Making CCS/CCUS Affordable: Enabling CCUS Deployment in G20 and Beyond", Rabu (13/4).

Liputan6.com, Jakarta Dalam rangkaian Side Event G20 Indonesia, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM menyelenggarakan Webinar yang bertajuk "Making CCS/CCUS Affordable: Enabling CCUS Deployment in G20 and Beyond", Rabu (13/4).

Acara ini dibuka oleh Chair of ETWG G20 2022 Yudo Dwinanda Priadi, sedangkan sebagai pembicara kunci adalah Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji. Pembicara lainnya adalah Chief Operating Officer ERIA Koji Hachiyama, Senior Policy Fellow ERIA Jun Arima dan Kikuko Shinci selaku Manager and Senior Researcher Mitsubishi Research Institute.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji selaku pembicara kunci menyampaikan, seluruh anggota G20 telah menetapkan target Net Zero Emission (NZE), termasuk Indonesia pada tahun 2060. Untuk mencapainya, pengembangan teknologi CCS/CCUS menjadi sangat penting.

Berdasarkan Roadmap IEA untuk sektor energi, teknologi CCS/CCUS akan berkontribusi lebih dari 10% dari pengurangan emisi kumulatif secara global hingga tahun 2050.

Di Asia Tenggara, juga berdasarkan publikasi IEA, agar sejalan dengan temperatur yang telah ditetapkan dalam Paris Agreement, carbon capture untuk CCUS di Asia Tenggara harus mencapai setidaknya 35 Mt CO2 pada tahun 2030 dan lebih dari 200 Mt pada tahun 2050 .

"Merujuk pada anggota G20, kita melihat bahwa pengembangan CCS/CCUS merupakan salah satu strategi pengurangan emisi bagi hampir semua anggota. Beberapa anggota sudah memiliki kebijakan dan proyek skala besar, beberapa anggota masih dalam proyek percontohan dan sisanya masih dalam tahap inisiasi," ungkap Dirjen Migas.

Bagi Indonesia, CCUS juga memiliki peran penting dalam mendukung target penurunan emisi Indonesia, mengembangkan ladang migas yang memiliki kandungan CO2 tinggi, dan pada saat yang sama juga dapat meningkatkan produksi migas melalui CO2-EOR atau EGR. Pemanfaatan migas masih penting karena minyak bumi merupakan sumber energi utama saat ini untuk sektor transportasi dan gas bumi juga akan memainkan peran penting dalam transisi energi sebelum mencapai 100% pembangkit listrik dari energi terbarukan.

Berdasarkan beberapa penelitian khususnya yang dilakukan oleh Puslitbang Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”, Indonesia memiliki potensi penyimpanan sekitar 2 gigaton CO2 yang tersebar di beberapa wilayah, di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua. Dan potensi saline aquifer 9,68 gigaton CO2 dari cekungan Sumatera Selatan dan Jawa Barat.

Beberapa studi atau proyek CCUS yang sedang berjalan, antara lain di Gundih, Sukowati dan Tangguh dengan total potensi simpanan CO2 sekitar 41 juta ton CO2.

"Indonesia juga memiliki proyek CCS/CCUS potensial lainnya, seperti CCS untuk memproduksi Blue Amonia di Sulawesi Tengah, Studi CCS/CCUS Kalimantan Timur, Studi CCUS untuk Batubara ke DME, Arun CCS/CCUS, CCS Sakakemang dan Abadi CCS/CCUS. Semuanya masih dalam tahap studi atau persiapan, namun sebagian besar ditargetkan bisa onstream sebelum 2030," papar Tutuka.

Untuk mendukung perkembangan CCS/CCUS di Indonesia, pada tahun 2021, Ditjen Migas telah membentuk tim untuk menyusun peraturan pelaksanaan kegiatan CCS/CCUS. Tim ini terdiri dari Kementerian ESDM, SKK Migas & BPMA, CoE CCS/CCUS ITB & LEMIGAS, Asosiasi Perminyakan Indonesia dan Kontraktor Migas.

Dalam pembahasan di dalam tim, ruang lingkup regulasi ini akan fokus pada penetapan tujuan untuk mengatur CCS atau CCUS melalui CO2-EOR, EGR atau ECBM di blok migas, antara lain aspek teknis, skenario bisnis, aspek legal termasuk program CCS/CCUS sebagai bagian dari PoD dan aspek ekonomi seperti potensi pendanaan dan insentif pihak ketiga.

"Draft aturan ini telah disampaikan kepada Pemerintah, lembaga publik/swasta, pusat penelitian & perusahaan dari Australia, Korea Selatan, Jepang, negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan juga Kanada, untuk mendapatkan umpan balik dan perbaikan. Saat ini sedang dilakukan finalisasi draft di Biro Hukum dan diusulkan menjadi salah satu prioritas yang akan disahkan tahun ini," papar Tutuka lagi.

Lebih lanjut Tutuka memaparkan, industri juga memiliki banyak sumber CO2, tidak hanya dari migas. Integrasi dan kolaborasi semua sektor melalui CCS/CCUS Hub dan clustering diperlukan untuk meningkatkan kelayakan proyek CCS/CCUS dengan menggunakan fasilitas bersama dan berpotensi menekan biaya. Pada titik ini, pemetaan potensi depleted field & saline aquifer serta pengembangan infrastruktur transportasi CO2 untuk CCS/CCUS menjadi sangat penting.

Hub dan clustering CCUS juga dapat membuka kerjasama dengan seluruh pemangku kepentingan melalui pengelolaan CO2 regional. Pemanfaatan CO2 tidak hanya untuk EOR/EGR, tetapi juga dapat digunakan untuk memproduksi methanol dan dapat diintegrasikan untuk produksi blue ammonia atau blue hydrogen plus CCS/CCUS.

Ditegaskan Tutuka, untuk memastikan keterjangkauan penerapan CCUS di masa mendatang, diperlukan kebijakan dan investasi pendukung yang tepat. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pengembangan CCS/CCUS membutuhkan kerja sama dan kolaborasi dengan semua pihak. Oleh karena itu, Pemerintah akan selalu mendukung semua pemangku kepentingan yang mempromosikan teknologi CCS/CCUS untuk diterapkan di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, Chair of ETWG G20 2022 Yudo Dwinanda Priadi mengatakan, tema utama Presidensi G20 Indonesia “Recover Together, Recover Stronger" dengan tiga pilar yaitu Arsitektur Kesehatan Global, Transformasi Ekonomi Digital dan Transisi Energi Berkelanjutan. Pilar Transisi Energi Berkelanjutan diadakan di bawah Energy Transitions Working Group (ETWG) dengan tiga prioritas yaitu aksesibilitas, teknologi dan pembiayaan.

Yudho memaparkan, COP26 Glasgow dan beberapa konferensi internasional tentang transisi iklim dan energi, menyepakati bahwa CCS/CCUS sebagai salah satu solusi utama untuk mengurangi emisi karbon dan bertransformasi menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan.

Untuk mencapai target yang ditetapkan dalam Paris Agreement, diperlukan program besar-besaran untuk mengurangi emisi CO2 global dari 40 juta ton menjadi 5,6 miliar ton dalam 30 tahun ke depan, yang akan datang dari CCUS pada industri besi dan baja, bahan kimia, kilang, dan pembangkit listrik. Dalam lingkup regional, skenario CCUS yang ambisius di ASEAN akan membutuhkan investasi besar-besaran sebesar US$1 miliar per tahun pada tahun 2030.

Tantangan utama teknologi CCS/CCUS adalah membuat harganya lebih terjangkau. Biaya untuk menangkap CO2 akan menyumbang porsi terbesar sekitar 70-75% dari total biaya CCUS. Ini bervariasi tergantung pada struktur geologi lokal, kedekatan dengan kawasan industri, dan dukungan peraturan pada proyek percontohan CCUS.

Dalam aspek kebijakan dan regulasi di tingkat global, regional dan nasional harus disesuaikan agar pasar karbon dan penetapan harga karbon dapat mendukung pengembangan CCS/CCUS. Dalam model bisnis, skema bisnis yang lebih inovatif dapat diatur untuk membuat proyek CCS/CCUS layak dan dapat diterapkan.

"Untuk mencapai keterjangkauan solusi iklim ini, kita perlu memasukkan harga CCS/CCUS ke dalam biaya produksi, sambil meningkatkan regulasi yang solid di sektor migas. Jika langkah-langkah itu bisa dilakukan, setidaknya akan memungkinkan sektor migas dan juga sektor kelistrikan untuk menjalankan proyek CCUS dengan basis komersial," kata Yudho.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Kementerian ESDM adalah Kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang bergerak di bidang energi, dan sumber daya mineral.

    Kementerian ESDM