Sukses

S&P Sebut Rusia Gagal Bayar Utang Luar Negeri Gara-gara Pakai Rubel

Lembaga pemeringkat global Standard and Poor's (S&P) menyebut Rusia gagal membayar utang luar negerinya.

Liputan6.com, Jakarta - Rusia disebut gagal bayar utang (default) luar negerinya karena menawarkan pembayaran kepada pemegang obligasi dengan mata uang rubel. Hal itu diungkapkan oleh lembaga pemeringkat global Standard and Poor's (S&P). 

Dilansir dari CNN Business, Selasa (12/4/2022) S&P mengatakan dalam sebuah catatan bahwa Rusia membayar utang dengan uang rubel untuk dua obligasi dolar yang jatuh tempo pada 4 April lalu.

S&P menyebut ini merupakan "default selektif" karena investor tidak mungkin dapat mengubah rubel menjadi "dolar yang setara dengan jumlah utang yang jatuh tempo."

Menurut S&P, wanprestasi selektif dideklarasikan ketika suatu entitas gagal memenuhi kewajiban tertentu tetapi tidak seluruh utangnya.

Rusia kini memiliki masa tenggang 30 hari dari 4 April untuk melakukan pembayaran modal dan bunga.

Tetapi S&P mengatakan tidak melihat pelunasan utang Rusia akan dilakukan dengan dolar mengingat sanksi dari negara Barat yang menghambat "kesediaan dan kemampuan teknis Rusia untuk memenuhi syarat dan ketentuan".

Sebagai informasi, sanksi terbaru oleh negara Barat terhadap Rusia beberapa waktu lalu membuat negara itu tidak dapat mengakses sekitar setengah dari cadangan devisa Rusia yang totalnya sekitar USD 315 miliar.

JPMorgan memperkirakan Rusia memiliki sekitar utang mata uang asing sekitar USD 40 miliar pada akhir tahun lalu, dengan sekitar setengahnya berada di investor asing.

Sementara itu, Rusia membantah tidak melunaskan utang dan merencanakan tindakan hukum atas pembayaran yang tidak diterima.

"Kami akan menuntut, karena kami melakukan semua tindakan yang diperlukan agar investor menerima pembayaran mereka," kata Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov kepada surat kabar Izvestia.

"Kami akan menunjukkan bukti pembayaran kami di pengadilan, untuk mengkonfirmasi upaya kami membayar dalam rubel, seperti yang kami lakukan dalam mata uang asing. Itu tidak akan menjadi proses yang sederhana," tambahnya.

Namun, Anton Siluanov tidak mengungkapkan secara spesifik tentang individu atau pihak mana yang akan dituntut Rusia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ekonomi Rusia Diprediksi Terkontraksi

Sementara ekonomi Ukraina akan mengalami kerusakan paling parah akibat perang, Bank Dunia juga menyebut ekonomi Rusia telah jatuh ke dalam resesi yang dalam karena dilanda sanksi dari negara-negara Barat.

Sanksi ekonomi itu termasuk memutuskan hubungan dengan bank-bank Rusia dan pembekuan aset politisi serta miliarder Rusia hingga melarang impor barang mewah dan penerbangan.

Dilansir dari BBC, Selasa (12/4/2022) Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Rusia akan berkontraksi hingga 11,2 persen di tahun 2022 ini.

Tetapi sementara AS telah melarang semua impor minyak dan gas Rusia, Uni Eropa, yang memasok seperempat minyak dan 40 persen gasnya dari Rusia, telah menghentikan langkah tersebut.

Negara-negara Uni Eropa terus membayar Moskow hingga 800 juta euro untuk pembelian energi setiap hari, yang diperkirakan berjumlah 40 persen dari pendapatan Kremlin.

Namun Uni Eropa telah mengusulkan rencana untuk membuat Eropa independen dari bahan bakar fosil Rusia sebelum 2030.

Selain itu, Bank Dunia juga menyebut ekonomi Ukraina akan menyusut hampir setengahnya tahun ini sebagai dampak dari konflik dengan Rusia.

Kontraksi ekonomi Ukraina diprediksi mencapai 45,1 persen. Jumlah itu pun belum termasuk dampak kehancuran infrastruktur fisik, dan berisiko menghambat output ekonomi di masa mendatang.

"Besarnya krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang sangat mengejutkan. Invasi Rusia memberikan pukulan besar bagi ekonomi Ukraina dan telah menimbulkan kerusakan besar pada infrastruktur," ujar Wakil presiden Bank Dunia Anna Bjerde.

"Perang Ukraina dan pandemi sekali lagi menunjukkan bahwa krisis dapat menyebabkan kerusakan ekonomi yang meluas dan menghambat pendapatan per kapita dan keuntungan pembangunan selama bertahun-tahun," kata Asli Demirgüç-Kunt, kepala ekonom Bank Dunia untuk Eropa dan Asia Tengah.

3 dari 4 halaman

Waspada, Pemulihan Ekonomi RI Terancam Perang Rusia-Ukraina

Perang Rusia-Ukraina merupakan ancaman terhadap pemulihan perekonomian Indonesia yang saat ini masih berada dalam kondisi rapuh akibat hantaman pandemi Covid-19. Tekanan yang dihadapi Indonesia kian bertambah karena tahun 2022 ini Indonesia juga memegang presidensi konferensi G20.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.

"Sebagaimana kita ketahui, Amerika mengancam akan memboikot konferensi G20, jika acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Rusia,” ujar Yose Rizal Damuri dalam keterangan tertulis di Jakarta, dikutip Selasa (12/4/2022).

Rusia merupakan pemasok bahan mentah yang penting bagi perekonomian dunia, menduduki posisi sebagai eksportir minyak terbesar keempat di dunia dengan rata-rata nilai ekspor 7,4 juta barel per hari. Ukraina juga merupakan negara pengekspor gandum yang besar di dunia.

Hal ini menjadikan konflik di antara kedua negara memberikan dampak besar terhadap perekonomian dunia, terutama pada sektor komoditas dan energi. 

Ia menambahkan, akibat konflik ini, lembaga OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) memperkirakan, penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 percentage point.

Ini angka yang besar sekali, karena pertumbuhan perekonomian dunia belum pulih sepenuhnya. Dampak yang tidak sedikit juga tampak pada inflasi. Padahal, saat ini inflasi sudah tinggi akibat disrupsi pasokan bahan baku selama pandemi. Invasi Rusia kemungkinan akan memperparah tingkat inflasi, terutama bagi negara konsumen energi, seperti Indonesia.

Bagi Indonesia, dampak langsung konflik Rusia-Ukraina sebenarnya tidak terlalu signifikan, karena kedua negara tersebut bukan mitra dagang utama kita.

Namun, tetap saja, Indonesia harus melakukan langkah antisipasi, karena kita mengimpor gandum dan bahan pangan lain dari kedua negara tersebut. Yang pasti, konflik antara kedua negara tersebut akan mempengaruhi rantai pasokan bahan baku ke dalam negeri. 

"Dampak tidak langsung datang dari imbas konflik pada perekonomian negara-negara Uni Eropa (UE) dan negara lain yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Dampak tidak langsung ini tidak selalu negatif, karena dengan rusaknya hubungan dagang antara Rusia dan negara lain, kita bisa mendapatkan windfall benefit akibat pengalihan aktivitas ekonomi ke Indonesia. Sebagai contoh, produk CPO (crude palm oil) dari Indonesia harganya jadi meningkat. Sekarang tinggal bagaimana caranya kita mengatur agar dampak negatif dan positif ini bisa seimbang," ungkapnya.

4 dari 4 halaman

Langkah Antisipasi

Menghadapi berbagai masalah ini, Indonesia perlu segera melakukan langkah antisipasi yang diperlukan, yaitu:

Pertama, tetap mempertahankan perekonomian terbuka dan tidak protektif. Perekonomian terbuka amat menolong untuk keluar dari krisis ekonomi atau paling tidak mencegah krisis kian membesar. 

Kedua, aktif mencari berbagai sumber pasokan alternatif. Sumber pasokan alternatif mesti giat dicari, karena kita tidak bisa mendapatkan barang dari Rusia dan Ukraina. Ini saling berhubungan, yang memungkinkan kita bisa mengimpor barang, jika diperlukan.

Ketiga, mempersiapkan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih berhati-hati untuk mencegah peningkatan inflasi.

Keempat, Menyiapkan jaring pengaman sosial yang lebih efektif, dengan memanfaatkan windfall benefit dari kenaikan harga komoditas internasional.

Kelima, menjadikan ini momentum untuk transisi energi dan skema ketahanan pangan yang lebih baik. Transisi energi akan meningkatkan kemandirian dan kestabilan pengadaan energi Indonesia sehingga meningkatkan resiliensi perekonomian kita terhadap masalah terkait ketahanan energi.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.