Sukses

Digelar Virtual, Migas Goes To Campus Tampilkan Edisi Khusus G20

Untuk mendukung Presidensi G20 Indonesia, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi menggelar Migas Goes To Campus (MGTC) Edisi Khusus G20, Jumat (8/4).

Liputan6.com, Jakarta Untuk mendukung Presidensi G20 Indonesia, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi menggelar Migas Goes To Campus (MGTC) Edisi Khusus G20, Jumat (8/4). Acara yang bertema "AADC (Ada Apa Dengan CCS/CCUS)" ini, diikuti oleh akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Meski digelar secara virtual, acara tetap berlangsung meriah dan disambut hangat para peserta. Selain menampilkan dua narasumber dan diskusi, MGTC ke-18 ini juga diiisi dengan kuis-kuis, lomba foto MGTC G20 dan tak lupa menampilkan Migascoustic yaitu band yang personilnya merupakan pegawai Ditjen Migas.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji ketika membuka acara tersebut menyampaikan, Pemerintah Indonesia c.q Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM terus berupaya meningkatkan produksi migas. Di sisi lain, Pemerintah juga berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

Dengan kedua target tersebut, Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) diharapkan menjadi enabler karena mampu meningkatkan produksi migas melalui CO2-Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Enhanced Gas Recovery (EGR), sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.

Banyak forum internasional yang membahas upaya mencapai NZE juga menjadikan CCS/CCUS sebagai key technology untuk mencapai target tersebut. Bahkan CCS/CCUS juga menjadi salah satu isu strategis yang diangkat dalam Energy Transitions Working Group (ETWG) Presidensi G20 Indonesia. Sementara di level nasional, minat stakeholder baik dari migas maupun industri lainnya untuk mengembangkan CCS/CCUS cukup banyak, seperti CCUS di Wilayah Kerja Gundih, Sukowati, Tangguh dan berbagai lokasi lainnya di Indonesia.

"Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk mendukung pengembangan CCS/CCUS ini. Ditjen Migas Kementerian ESDM memfasilitasi para stakeholder yang ingin melaksanakan kegiatan CCS/CCUS di Indonesia dan membuka peluang kerja sama dengan berbagai negara," papar Tutuka.

 

Selain itu, pada Agustus 2021 Ditjen Migas membentuk Tim yang melibatkan berbagai pihak untuk menyusun draft Permen ESDM terkait penyelenggaraan CCS/CCUS yang mencakup aspek teknis, ekonomi dan monetisasi, serta aspek legal yang dibutuhkan dalam mendorong pengembangan CCS/CCUS di Indonesia.

"Draft Permen tersebut saat ini dalam tahap finalisasi untuk kemudian diproses lebih lanjut oleh bagian legal di Kementerian ESDM dan ditargetkan untuk dapat disahkan pada tahun ini," lanjut Tutuka.

Menurut Tutuka, perguruan tinggi berperan penting dalam pengembangan teknologi dan sumber daya manusia untuk mendorong kegiatan CCS/CCUS. Akademisi dan mahasiswa diharapkan mulai terlibat aktif dan mempelajari pemanfaatan dan pengembangan teknologi ini.

"Teknologi CCS/CCUS sudah terbukti di dunia, namun merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia. Untuk itu, pengembangan teknologi CCS/CCUS akan sangat diperlukan, termasuk teknologi penangkapan CO2 yang kedepan perlu lebih ekonomis. Selain itu, pengembangan model bisnis juga akan sangat penting mengingat sumber CO2 tidak hanya dari migas, tapi bisa lintas sektor seperti dari pembangkit, pabrik pupuk, pabrik semen dan lainnya," kata dia.

Pengembangan CCS/CCUS di Indonesia Sementara dalam sesi diskusi, Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Wakhid Hasyim menyampaikan paparan mengenai pengembangan CCS/CCUS di Indonesia. Dia menjelaskan, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) tahun 2030 sebesar 29% apabila sesuai business as usual dan 41% dengan bantuan internasional.

Sektor energi berkomitmen dalam penurunan emisi GRK sebesar 314-446 juta ton CO2 pada tahun 2030, melalui pengembangan EBT, efisiensi dan konservasi energi, serta penggunaan green energy technology di mana salah satunya adalah CCS/CCUS.

Peran CCS/CCUS di dunia, berdasarkan roadmap IEA untuk NZE tahun 2050 di sektor energi, teknologi CCS/CCUS akan berkontribusi lebih dari 10% dalam pengurangan emisi. Di Asia Tenggara, kebutuhan CCS/CCUS mencapai 35 juta tCO2 pada tahun 2030 dan lebih dari 200 juta tCO2 pada tahun 2050.

Total kapasitas penangkapan CO2 di dunia mencapai 40 juta tCO2 per tahun. Hasil dari penangkapan CO2 didominasi untuk CCS dan CCUS mencapai 99%. CO2 selain dimanfaatkan untuk CCS/CCUS, juga dimanfaatkan melalui mineralisasi, produksi chemical, kebutuhan industri pangan dan sebagainya.

Sedangkan peran CCS/CCUS di Indonesia di masa depan, kata Wakhid, lapangan-lapangan migas Indonesia banyak mengandung CO2. Dengan tantangan meningkatkan produksi migas yang berarti juga berdampak pada peningkatan emisi dan di sisi lain harus menuju target NZE, maka pengembangan migas ke depan harus menggunakan teknologi seperti CCS/CCUS.

"Kita harus meningkatkan peran CCS/CCUS agar target produksi dapat tercapai, di sisi lain emisi karbon dapat dikurangi sesuai target yang telah ditetapkan," katanya.

CCS/CCUS sebagai integrasi beberapa kegiatan yaitu identifikasi sumber emisi CO2 misal dari kegiatan migas, industri pembangkit atau dari atmosfer. Selain itu, penangkapan CO2 pada gas buang dari sumber yang kondisi normal dilepas ke atmosfer, kompresi CO2 ke dalam fase supercritical, transportasi CO2 dengan pipa atau kapal, injeksi dan penyimpanan CO2 pada formasi geologi melalui EOR atau injeksi ke aquifier dan pemanfaatan CO2 seperti untuk produksi material bangunan dan chemical.

Potensi penyimpanan CCS/CCUS dari depleted oil and gas reservoir sebesar 2,9 giga ton CO2. Saat ini terdapat 10 lapangan migas yang mengembangkan CCS/CCUS.

Sedangkan terkait biaya, saat ini biaya penangkapan CO2 terbilang mahal. Diharapkan ke depannya dapat lebih ekonomis.

"Biaya CCS/CCUS bergantung pada jenis kegiatan yang menjadi sumber CO2, lokasi injeksi CO2 (onshore/offshore), metode yang digunakan dan lain-lain Biaya paling besar dari kegiatan CCS/CCUS adalah untuk kegiatan penangkapan CO2," tutur Wakhid.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Presidensi G20 Indonesia 

Sementara narasumber berikutnya adalah Sangaji Budi Utomo selaku Subkoordinator Kerjasama Multilateral dan Regional Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas.

Sangaji menjelaskan, G20 adalah forum multilateral yang beranggotakan 19 negara dan Uni Eropa. Ke-20 anggota G20 ini juga kekuatan besar ekonomi dunia. G20 didirikan pada tahun 1999, namun terbatas membahas isu-isu perekonomian global. Pada 2008, isu diperluas dan level dinaikkan menjadi tingkat Kepala Negara.

Tujuan G20 adalah menghimpun para pemimpin negara-negara ekonomi maju dan berkembang utama dunia untuk mengatasi tantangan ekonomi global, serta isu-isu lainnya yang menjadi prioritas bersama. Kepemimpinan di G20 disebut sebagai Presidensi G20, yang dipegang oleh negara-negara anggota secara bergiliran setiap tahunnya. Presidensi 5 tahun terakhir adalah Argentina (2018), Jepang (2019), Arab Saudi (2020), Italia (2021) dan Indonesia (2022).

G20 mencakup 85% GDP dunia. Dari sisi perdagangan, 75% world trade dilakukan oleh negara-negara G20. Dari sisi energi, negara-negara G20 merupakan pengguna energi yang sangat besar yaitu 77% dari penggunaan energi global. Demikian juga emisi yang dikeluarkan dari sektor energi mencapai 81%.

Lebih lanjut dijelaskan Sangaji, sejak tahun 2000, produksi minyak negara G20 menyumbang lebih dari 50% minyak global, di mana pada tahun 2020 sebeear 63,22%. Sementara dari sisi produksi gas, sama seperti minyak, produksi gas negara G20 menyumbang lebih dari 50% produksi gas global, di mana tahun 2020 sebesar 61,12%.

Untuk konsumsi minyak, sejak tahun 2000, konsumsi minyak negara G20 menyumbang lebih dari 70% konsumsi minyak global, di mana tahun 2020 sebesar 72,64%. Sedangkan konsumsi gas menyumbang lebih dari 65%, di mana tahun 2020 sebesar 67,54%.

"Peran konsumsi minyak dan gas negara G20 terhadap konsumsi global cenderung mengalami penurunan. Konsumsi minyak dan gas negara G20 mencapau puncak tahun 2019," jelasnya.

Dalam upaya mitigasi perubahan iklim yang telah disepakati dalam Paris Agreement, negara G20 telah menetapkan target NZE di masing-masing negara. Sebanyak 14 negara menargetkan NZE tahun 2050. Ini terutama negara barat yang teknologi sudah relatif maju, seperti Perancis, Italia, Jerman, Kanda, Australia, Jepang dan Korsel. Sedangkan Turki menetapkan NZE tahun 2053. Sedangkan Indonesia beserta 3 negara lainnya menetapkan NZE tahun 2060. Sementara India menetapkan tahun 2070 karena konsumsi batubaranya sangat besar.

Salah satu upaya yang ditempuh negara G20 untuk menekan emisi karbon adalah melalui teknologi CCS/CCUS. Negara yang paling unggul dalam pengembangan teknologi ini adalah Amerika Serikat dengan kapasitas penyimpanan lebih dari 60% kapasitas penyimpanan global. Proyek CCUS di AS mayoritas diasosiasikan dengan proses gas bumi.

 

Negara lain yang juga maju adalah Jepang yang merupakan mitra Indonesia di Lapangan Gundih. Pada Juni 2019, Jepang mengeluarkan Peta Jalan Carbon Recycling dengan menyoroti peluang komersialisasi teknologi CO2 dekade ke depan. Perusahaan Jepang berencana memulai proyek ujicoba transportasi CO2 pada awal 2024.

Sementara Australia telah meluncurkan program senilai AU$250 juta untuk mengembangkan proyek CCUS. Saat ini telah melaksanakan proyek komersial skala besar di Gorgon dengan kapasitas 3,4-4 Mt per tahun.

Untuk Indonesia sendiri, Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Saat ini tengah disusun Permen mengenai CCS/CCUS di wilayah kerja migas dan terdapat 10 proyek potensial CCS/CCUS yang tengah berjalan.

Khusus mengenai Presidensi G20 Indonesia, mengusung tema utama yaitu Recover Together, Recover Stronger. Tiga fokus dalam Presidensi G20 yaitu global health, transformasi digital dan ekonomi, yang terakhir adalah transisi energi.

Kementerian ESDM menjadi penanggung jawab transisi energi. Untuk itu digelar Forum Transisi Energi G20 yang terdiri dari rangkaian pertemuan mulai dari Energy Transitions Working Group (ETWG) 1 di Yogyakarta, ETWG 2 di Labuan Bajo dan ETWG 3 di Bali, serta Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM). Puncak Presidensi G20 Indonesia adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada September 2022.

Hingga September 2022 nanti, berbagai side events juga akan menyemarakkan gelaran Presidensi G20 Indonesia, antara lain Webinar Ensuring Just Transitions for All; Making CCS/CCUS Affordable; Maintaining Energy Security during Transitions; Achieving Global Energy Access Goals in the Decade of Actions; Assuring Energy Access and Transitions in Archipelagic States; Escalating Gas Role in Energy Transitions; Boosting Geothermal Power; Highlighting Nuclear Potentials in Energy Transitions; Expanding Solar, Wind, and Ocean Energy Solutions; Accelerating Hydrogen and Energy Storage Development; Biofuels for Green Economy; Energy Efficiency: Scaling-up Strategies; dan Joint Webinar on Energy and Climate Financing.

Diselenggarakan pula parallel events yaitu IRENA Investment Forum dan EBTKE Conference and Expo 2022. Di samping itu, digelar Youth Conference in Energy Transitions: Smart & Clean Energy Technologies Scaling Up, Youth Conference in Energy Transitions: Securing Energy Accessibility, Youth Summit in Energy Transitions: Advancing Energy Financing, dan Civil of Twenty (C20).

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Kementerian ESDM adalah Kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang bergerak di bidang energi, dan sumber daya mineral.

    Kementerian ESDM

Video Terkini