Sukses

Pemberian Kompensasi Selisih Harga BBM Perlu Regulasi

Jika subsidi basisnya Undang-Undang APBN, maka pemberian kompensasi harga BBM juga perlu berbasis regulasi.

Liputan6.com, Jakarta Pemberian kompensasi dari selisih harga bahan bakar minyak termasuk jenis solar dinilai tidak hanya penting untuk kesehatan keuangan PT Pertamina (Persero), namun juga bagi kelangsungan penyediaan BBM dalam negeri.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan jika subsidi basisnya Undang-Undang APBN, maka pemberian kompensasi juga perlu berbasis regulasi."Seharusnya ada payung hukumnya," kata Komaidi melansir Antara di Jakarta, Rabu (31/3/2022).

Pertamina saat ini menanggung selisih harga jual solar bersubsidi sebesar Rp 7.800 per liter karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mengalokasikan subsidi Rp500 per liter.

Harga jual solar bersubsidi dijual Rp 5.150 per liter, jauh di bawah harga solar nonsubsidi yang dijual Pertamina, Dexlite sebesar Rp 12.950 per liter.

Menurut Komaidi, saat ini yang paling utama adalah masalah kelangkaan solar harus tertangani dulu. Untuk itu, dia menyarankan agar kuota solar bersubsidi harus ditambah.

“Risiko penambahan kuota sudah jelas, yaitu perlu tambahan subsidi,” tegas dia.

Dia menilai kelangkaan solar bersubsidi yang berlarut-larut tidak baik untuk stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Menurut dia, efeknya bisa tidak terduga dan tidak terkendali.

“Dampaknya bisa meluas dan tidak terkendali. Saya kira penting ini menjadi perhatian,” tegasnya.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, sebelumnya meminta kepada pemerintah segera melakukan langkah strategis untuk mengatur barang subsidi.

Hal ini merupakan persoalan penting karena harga BBM yang dijual Pertamina masih jauh di bawah harga keekonomian.

"Yang disubsidi pemerintah itu fix hanya Rp500 per liter. Sisanya dibayarkan melalui kompensasi yang penuh ketidakpastian. Pertamina mengeluarkan uang dulu, ini berpengaruh ke cashflow perusahaan," ujar Nicke, dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi VI DPR RI, Selasa (29/3/2022).

Menurut Nicke, ketika konsumen menemukan perbedaan harga antara BBM subsidi dengan BBM nonsubsidi yang besar, maka tidak bisa dimungkiri pergeseran atau shifting konsumsi ke produk bersubsidi akan terjadi sehingga pada akhirnya bakal membebani APBN.

"Tapi kan hari ini subsidinya tidak tepat sasaran. Makanya, hari ini jadi masalah. Solusi permanennya, sebaiknya memang subsidi langsung. Sehingga tepat sasaran," kata dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Utang Subsidi

Nicke menerangkan saat harga minyak sedang naik seperti sekarang ini maka di satu sisi pemerintah berkewajiban menjaga atau menetapkan harga jual BBM dapat terjangkau oleh masyarakat. Sayangnya, kondisi ini tidak bisa terus menerus dilakukan.

"Begitu subsidi barang, ya jadi ada gap. Harga jual sekarang sepertiga dari harga market. Kami tahu untuk ke sana (mengurangi subsidi), tantangannya besar. Tapi kalau mau tepat sasaran dan tidak nambah beban masyarakat ya solusinya itu (penyesuaian harga BBM)," ujar Nicke.

Sementara itu Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mendesak pemerintah agar segera melunasi utang subsidi yang belum dibayarkan kepada Pertamina yang jumlahnya tembus ratusan triliun, untuk menjaga kesehatan bisnis Pertamina.

Jika pemerintah tidak segera membantu, maka perusahaan migas plat merah itu akan semakin terbebani, katanya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.