Sukses

Harga Minyak Ambrol Usai Tembus USD 130 per Barel

Harga minyak saat ini anjlok dari sebelumnya berada di level USD 130 per barel lebih dari seminggu yang lalu.

Liputan6.com, Jakarta Harga minyak mencatat kerugian besar pada perdagangan Selasa. Harga minyak turun sejak awal pekan karena berbagai faktor membebani sentimen, termasuk pembicaraan antara Rusia dan Ukraina.

Harga minyak dunia juga terdampak adanya potensi perlambatan permintaan China dan pelonggaran perdagangan menjelang kenaikan suku bunga yang diharapkan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) pada hari Rabu.

Dikutip dari CNBC, Rabu (16/3/2022), baik harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) dan harga patokan minyak mentah Brent menetap di bawah USD 100 per barel pada perdagangan Selasa.

Harga minyak saat ini anjlok dari sebelumnya berada di level USD 130 per barel lebih dari seminggu yang lalu.

Harga minyak WTI menutup perdagangan di level USD 96,44, dengan kerugian 6,38 persen. Selama sesi itu diperdagangkan serendah USD 93,53.

Sedangkan harga minyak Brent turun lebih dalam yaitu 6,54 persen ke level USD 99,91 per barel, setelah diperdagangkan serendah USD 97,44.

Baik harga minyak WTI maupun Brent masing-masing telah turun 5,78 persen dan 5,12 persen pada perdagangan Senin.

"Kekhawatiran pertumbuhan dari gelombang stagflasi Ukraina-Rusia, dan kenaikan FOMC minggu ini, dan harapan bahwa kemajuan akan dicapai dalam negosiasi Ukraina-Rusia membebani harga  minyak," kata Jeffrey Halley, analis pasar senior di Oanda.

Harga minyak mentah telah melonjak di atas USD 100 per barel untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun saat Rusia menginvasi Ukraina, dan harga minyak terus naik saat konflik meningkat.

Harga minyak WTI mencapai level tertinggi USD 130,50 per barel awal pekan lalu. Sementara harga minyak Brent diperdagangkan setinggi USD 139,26 per barel.

Harga minyak sempat melonjak karena para pedagang khawatir ekspor energi Rusia akan terganggu. Sejauh ini AS dan Kanada telah melarang impor energi Rusia, sementara Inggris mengatakan akan menghentikan impor dari negara tersebut.

Tetapi negara-negara lain di Eropa, yang bergantung pada minyak dan gas Rusia, belum melakukan langkah serupa.

"Ini benar-benar pasar yang diperdagangkan sepenuhnya karena ketakutan," ungkap Rebecca Babin, pedagang energi senior di CIBC Private Wealth AS.

Dia mengatakan juga tentang lonjakan awal yang lebih tinggi di tengah kekhawatiran pasokan. “Sekarang, tanpa perubahan fakta yang sebenarnya, kami berdagang dengan harapan bahwa keadaan di pasar komoditas tidak akan seburuk yang ditakuti pada awalnya," tuturnya

“Kami tidak memiliki banyak kejelasan tentang apa yang sebenarnya akan terjadi dengan pasokan minyak mentah di masa depan sebagai akibat dari konflik ini,” tambah dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dampak Lonjakan Kasus Covid-19 di China

Sementara sanksi diri telah terjadi sampai batas tertentu, para ahli mengatakan energi Rusia masih mencari pembeli, termasuk dari India.

Langkah terbaru China untuk mengekang penyebaran Covid-19 juga berdampak pada harga minyak. Negara ini adalah importir minyak terbesar di dunia, sehingga setiap penurunan permintaan akan menekan harga.

Kesepakatan dengan Iran juga bisa menambah barel minyak baru ke pasar. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mendukung untuk melanjutkan kesepakatan itu, menurut Reuters.

Minyak sangat fluktuatif dalam beberapa sesi terakhir, bergerak di antara keuntungan dan kerugian dengan setiap perkembangan geopolitik baru.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.