Sukses

Status Indonesia Jadi Negara Berpendapatan Menengah ke Atas Masih Semu

Indonesia berhasil kembali masuk ke jajaran negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country), benarkah?

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berhasil mencatat produk domestik bruto (PDB) per kapita USD 4.349,5, setara Rp 62,2 juta di 2021.  Sehingga pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut juga sebesar 3,69 persen secara year on year.

Capaian itu membuat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sumringah, karena Indonesia berhasil kembali masuk ke jajaran negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country).

Namun, Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai, peningkatan PDB per kapita Indonesia tahun lalu cenderung masih semu. Hal ini karena kenaikan pertumbuhan ekonomi yang tidak didukung oleh kualitas pertumbuhan seperti pelebaran kesempatan kerja, peningkatan aktifitas usaha masyarakat, dan peningkatan taraf hidup penduduk Indonesia.

"Tapi lebih didukung oleh perubahan model alokasi fiskal (politik fiskal) pemerintah yang berubah fokus ke sektor-sektor yang mendukung proses pemulihan ekonomi. Sifatnya tentu tidak permanen dan tidak sustainable," ujar Ronny, Minggu (20/2/2022).

Dari sudut pandangnya, pertumbuhan ekonomi 2021 belum normal. Sehingga kenaikan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah atas berdasarkan kenaikan perdapatan per kapita belum didukung kualitas pertumbuhan.

"Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagaimana ditunjukan oleh data BPS, sangat ditopang oleh kenaikan tajam di sektor-sektor pendukung pemulihan dari terjangan Covid-19. Yakni sektor kesehatan dan pekerjaan sosial, lalu sektor informasi dan komunikasi," sebutnya.

Jika situasi sudah normal, Ronny menyatakan, pertumbuhan sektor-sektor tersebut berpeluang turun, karena tuntutan atas peran sektor layanan kesehatan dan pekerjaan sosial tidak lagi sebesar masa pandemi.

"Lalu kenaikan sektor informasi dan komunikasi juga sangat bisa dipahami karena aturan pengetatan mobilitas sosial yang diterapkan pemerintah. Sehingga banyak aktifitas yang berpindah ke dunia maya, yang menggenjot permintaan instrumen-instrumen pendukung komunikasi, termasuk data dan pulsa, misalnya," ungkapnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ekspor dan Impor

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tinggi dialami oleh ekspor barang dan jasa. Namun, Ronny menyatakan, pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang cukup tinggi hanyalah efek bantingan dari pertumbuhan ekspor barang dan jasa yang sampai 2020 lalu masih sangat lesu.

"Kedua, kontribusi ekspor impor pada pertumbuhan ekonomi tidaklah besar, masuk kategori paling buncit dibanding kontributor lainnya," kata dia.

Sementara itu, industri pengolahan yang memiliki peran dominan pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja hanya tumbuh 3,39 persen, di bawah angka pertumbuhan nasional.

Begitu pula dengan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kemudian perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan zepeda motor. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS).

"Jadi saya melihat bahwa imbas dari pertumbuhan PDB nasional kepada PDB per kapita lebih disebabkan oleh meningkat tajamnya peran guyuran anggaran pemerintah yang ditopang oleh pelebaran utang negara,. Terutama di sektor kesehatan dan pekerjaan sosial, ditambah dengan belanja pertahanan yang memang cukup jumbo," tegasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.