Sukses

HEADLINE: Pemerintah Menunggak Rp 23 Triliun Biaya Perawatan Pasien COVID-19, Berdampak ke Layanan?

Pemerintah masih mempunyai utang sebesar Rp 23 triliun terhadap sejumlah rumah sakit yang melakukan perawatan pasien COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta Keuangan negaranya tampaknya masih harus bekerja ekstra keras melawan pandemi Covid-19 yang belum usai. Terbaru, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan masih adanya tunggakan pemerintah terkait biaya perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit. 

Nilainya cukup besar, mencapai Rp 23 triliun terhadap sejumlah rumah sakit yang melakukan perawatan pasien COVID-19.

Ini merupakan sisa tagihan dari biaya perawatan pasien COVID-19 sepanjang 2021, yang harus dibayar pada 2022 ini. “Masih ada tagihan Rp 23 triliun pada 2022 yang harus kami bayar dari perawatan 2021,” ungkap Sri Mulyani.

Tagihan tersebut imbas kasus COVID-19 varian Delta yang menyebabkan banyak masyarakat terinfeksi dan harus dirawat di rumah sakit.

Kenaikan kasus COVID-19 varian Delta juga menjadi faktor belanja kesehatan yang mendominasi belanja negara. Di mana, biaya perawatan pasien COVID-19 saja jumlahnya mencapai Rp 94 triliun.

Sementara realisasi belanja negara pada 2021 mencapai Rp 2.786,8 triliun atau 101,3 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp 2.750 triliun.

“Ini sebagian sangat besar untuk kesehatan sebab belanja kesehatan akibat naiknya Delta karena perawatan kami mengeluarkan hampir Rp94 triliun,” jelas bendahara negara ini.

Menurutnya, hal tersebut menunjukkan bahwa biaya penanganan COVID-19 sangat mahal, pemerintah harus mengucurkan hingga ratusan triliun hanya untuk sektor kesehatan dan sektor lain seperti perlindungan sosial.

“Jadi kami bisa lihat bahwa COVID-19 is so expensive. Itu perawatan, belum termasuk vaksinasi,” tegasnya.

Meski demikian, Sri Mulyani memastikan pemerintah akan mulai menyehatkan kembali APBN yakni tercermin dari defisit 2021 yang sudah turun cukup signifikan.

Dari catatan, defisit pada 2021 mencapai Rp 783,7 triliun atau 4,65 persen dari PDB yang lebih rendah dari pagu Rp 1.006 triliun atau 5,7 persen dari PDB. Angka ini turun dari Rp 947 triliun atau 6,14 persen PDB pada 2020.

Hal itu terjadi karena meski belanja masih tinggi namun pendapatan negara sampai 31 Desember 2021 mencapai Rp 2.003,1 triliun atau 114,9 persen dari target APBN.

“Ini menggambarkan APBN meski kerja extremely keras tapi kami mulai coba menyehatkan,” ujarnya. 

Tunggakan pemerintah atas biaya perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit sebenarnya bukan sekali ini saja diungkapkan Sri Mulyani.

Dari catatan Liputan6.com, pada Juli 2021 lalu, Sri Mulyani menyebut, pemerintah membutuhkan anggaran sebesar Rp 11,9 triliun untuk pembayaran klaim rumah sakit penanganan Covid-19 untuk tahap II di 2021.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan juga mengakui masih memiliki tunggakan untuk pembayaran klaim rumah sakit pasien Covid-19 pada 2020 sebesar Rp 2,69 triliun. Tunggakan ini masuk dalam tahap II yang akan dibayarkan oleh pemerintah.

Namun demikian, Bendahara Negara tersebut memastikan pemenuhan anggaran untuk penanganan pasien Covid-19 ini menunjukan betapa APBN menghadapi berbagai situasi yang dinamis dalam menghadapi pandemi.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Dampak ke Rumah Sakit

Sejak awal, pemerintah memang telah memastikan akan menanggung biaya perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit. Namun harus diakui penyakit ini disebut sebagai penyakit mahal lantaran jumlah pasien yang dirawat tidak sedikit. Karena itu, tagihan di sejumlah rumah sakit pun belum terbayarkan walaupun tahun sudah berganti.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) drg Iing Ichsan Hanafi mengakui jika dampak tunggakan pemerintah Rp 23 triliun bagi pengelola rumah sakit begitu terasa.

"Dampak bagi kami sangat terasa karena saat ini kami sedang melayani pasien yang memerlukan isolasi lagi. Jadi kami harus mempersiapkan obat-obatan, alat kesehatan, oksigen, gaji nakes, dan lainnya," ujar Ichsan saat dihubungi Health Liputan6.com.

Terlebih, pihak rumah sakit juga kesulitan menambah fasilitas, terutama terjadi pada rumah sakit swasta kecil. "Kami juga kesulitan untuk menambah fasilitas karena cashflow-nya belum baik," kata Ichsan.

Tak hanya tunggakan dari 2021, Ichsan mengungkapkan sebenarnya masih adapula tunggakan pada 2020. Namun, tunggakan tersebut dianggap hangus oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Untuk pelayanan klaim tahun 2020 beberapa rumah sakit masih punya tagihan sekitar Rp 1,7 triliun. Dari Kemenkes dianggap hangus tapi ARSSI sedang berusaha untuk ada diskresi karena rumah sakit sudah melakukan pelayanan secara baik tapi dihanguskan. Menurut kami tidak tepat," ujar Ichsan.

Terkait respons Kemenkes, Ichsan menjelaskan bahwa belum ada jalan keluar untuk masalah tunggakan yang dihanguskan tersebut.

"Mereka masih belum memberikan jalan keluar untuk masalah ini. Padahal banyak rumah sakit yang sangat berharap bisa dilakukan klaim," kata Ichsan.

"Kami berharap ini segera diselesaikan," tambahnya. 

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio berasumsi, jika tunggakan yang dimaksud pemerintah berasal dari rumah sakit pusat dan daerah, tidak termasuk rumah sakit swasta, maka akan berat.

“Operasional kan harus tetap berjalan, kalau rumah sakit pusat seperti Hasan Sadikin Bandung dan sebagainya itu kemungkinan masih bisa hidup, tapi kalau Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) itu berat. Rumah sakit daerah kan anggarannya dari pemerintah daerah,” kata Agus kepada Health Liputan6.com.

“Jadi menurut saya ya itu harus segera dibayarkan. Daripada anggarannya untuk membangun ibu kota negara ya untuk bayar itu (tagihan rumah sakit),” tambahnya.

Dengan kata lain, tanggungan yang belum dibayarkan akan lebih berdampak berat pada RSUD ketimbang rumah sakit pusat.

“Dengan catatan saya enggak punya datanya RS mana yang belum dibayar, ya. Saya anggap saja yang belum dibayar itu RS pemerintah pusat dan daerah. Kalau yang pusat anggarannya dari pemerintah pusat, kalau yang daerah dari pemerintah daerah.”

Jika tanggungan tidak dibayarkan setelah ganti tahun anggaran, maka akan defisit karena sudah tutup buku pada Desember tahun lalu.

“Lalu ada rumah sakit di kabupaten yang lebih turun lagi dari keduanya, jadi semuanya itu ditanggung pemerintah. Ketika pemerintah belum membayarkan maka berat bagi rumah sakit tersebut, ini kan sudah ganti tahun anggaran.”

Tak hanya bagi pengelola rumah sakit, demikian pula bagi petugas kesehatan tertentu dampaknya bisa tidak terlalu besar karena petugas kesehatan dibayar oleh negara.

“Ya kalau petugas kesehatannya kan dibayar negara, kalau yang Pegawai Negeri Sipil (PNS) lho ya. Kecuali yang honorer, saya enggak tahu itu gimana mekanismenya.”

Maka dari itu, solusi terbaik yang perlu dilakukan adalah membayar tagihan tersebut secepatnya. “Solusinya ya bayar sekarang, kalau enggak, jangan bilang kasih gratis,” ujar Agus.

 

3 dari 5 halaman

DPR Desak Segera Dilunasi

Perihal tunggakan biaya perawatan pasien Covid-19 ini belum sampai ke telinga anggota dewan secara langsung. Seperti diungkapkan Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun.

Dia mengaku Komisi XI sejauh ini sama sekali belum pernah mendengar laporan tagihan yang menumpuk akibat lonjakan kasus Covid-19 varian delta tersebut.

Meski diakui pemerintah seharusnya menyampaikan mekanisme pelaksanaan anggaran tahun lalu ke Komisi XI melalui rapat realisasi APBN setiap triwulan.

"Kalau soal masih adanya tagihan rumah sakit sebesar Rp 23 triliun terkait penanganan Covid-19 belum pernah disampaikan pada saat rapat di Komisi XI oleh Menkeu," kata Misbakhun kepada Liputan6.com.

 

Misbakhun pun meminta pemerintah segera melunasi tagihan perawatan pasien Covid-19 ke rumah sakit agar tidak membebani rumah sakit.

"Pemerintah harus punya kebijakan meringankan beban rumah sakit. Karena yang sakit adalah rakyat Indonesia sendiri," tegasnya.

Terkait validitas angka tagihan perawatan pasien Covid-19 tersebut, ia pun mengarahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit.

Seruan serupa disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo. Dia berharap pemerintah segera melunasinya. Apalagi saat ini Indonesia tengah menghadapi gelombang ketiga pandemi Covid-19 akibat penyebaran varian omicron.

"Sehingga diharapkan pemerintah tetap memberikan dukungan pada instansi kesehatan Tanah Air agar tetap mampu bertahan dalam menghadapi lonjakan demi lonjakan kasus Covid-19 ke depannya," kata dia.

Andreas juga menyoroti arah kebijakan fiskal tahun ini yang akan fokus pada antisipasi risiko pandemi, percepatan pemulihan ekonomi, dan dukungan pada reformasi struktural

"Maka harapan kami upaya keberlanjutan penanganan Covid-19 yang mana salah satunya adalah untuk perawatan pasien dapat berjalan dengan baik," pintanya.

Dia memahami jika anggaran kesehatan tahun lalu memang sempat membengkak akibat terjadinya gelombang kedua Covid-19 varian delta.

Dari total realisasi belanja negara sebesar Rp 2.786 triliun, serapan untuk anggaran kesehatan 2021 sebesar Rp 291,4 triliun.

"Salah satu manfaat anggaran kesehatan ini untuk klaim perawatan 1,4 juta pasien Covid-19 senilai Rp 83,3 triliun. Memang jumlah ini tidak sedikit. Namun, kami berharap bahwa pemerintah segera melakukan pelunasan tunggakan tersebut," ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago, menyoroti alokasi anggaran pemerintah untuk bidang kesehatan penanganan Covid-19. Terutama setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan adanya tagihan Rp 23 triliun dari rumah sakit untik perawatan pasien Covid-19.

Politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini mengaku bingung, kenapa tagihan rumah sakit pasien Covid-19 begitu besar. Sebab, menurut dia yang menjadi mahal itu karena lamanya perawatan untuk isolasi mandiri (isoman).

"Bisa dimaklumi untuk pasien komorbid memang butuh waktu, tindakan medis serta obat-obatan yang mahal. Tetapi untuk yang tidak punya komorbid, meski bergejala tetap saja obat-obatan yang digunakan hanya vitamin, antibiotik, dan lain-lain yang menurut saya nilainya tidak terlalu mahal," tuturnya kepada Liputan6.com.

Oleh karena itu, Irma menilai, ke depan harus ada regulasi tepat dan kontrol bagi perawatan pasien Covid-19 agar tidak jadi ladang panen rumah sakit.

Irma juga menggarisbawahi anggaran belanja kesehatan 2022 sebesar Rp 255,3 triliun. Jumlah itu turun 21,8 persen dari outlook anggaran kesehatan 2021 yang sebesar Rp 326,4 triliun.

Dia menekankan, tentu saja alokasi anggaran sebesar itu tidak akan mencukupi jika aksi promotif preventif tidak dikembangkan dengan baik.

"Seberapa pun besar anggaran yang disediakan untuk kuratif pasti tidak akan cukup, karena memelihara kesehatan jauh lebih murah dari pada mengobati penyakit," seru Irma.

Irma Suryani Chaniago pun mengatakan, bakal membicarakannya bersama Menkes dalam rapat dengar pendapat (RDP) pekan depan.

"Minggu depan kami ada RDP dengan Menkes. Tentu hal ini akan kami tanyakan dan tindaklanjuti," kata dia.

 

4 dari 5 halaman

Pemerintah Dinilai Mampu Melunasi

Meski masih menunggak, Ekonom sekaligus Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani buka-bukaan soal tagihan perawatan pasien Covid-19 dari rumah sakit yang mencapai Rp 23 triliun.

Piter menilai, pemerintah memang seharusnya terbuka soal alokasi keuangan negara, termasuk dalam hal utang untuk kepentingan nasional.

"Menurut saya wajar saja kalau pemerintah mengungkap hal ini. Pertama informasi ini adalah hak publik karena terkait pengeluaran pemerintah," ujar Piter kepada Liputan6.com.

Selain itu, dia menambahkan, pemerintah juga perlu menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 sejauh ini masih membebani belanja pemerintah. "Sehingga kalau terjadi pelebaran defisit APBN itu ada underlying transaksinya," sebut dia.

Piter juga menilai pemerintah sudah punya perhitungan terkait tagihan perawatan pasien Covid-19 dari rumah sakit senilai Rp 23 triliun.

Munculnya tagihan bernilai besar kepada negara tersebut bukan berarti pemerintah tidak mampu membayarnya. "Jadi tunggakan itu masih bisa di-cover dengan anggaran yang ada saat ini," kata Piter kepada Liputan6.com.

Dia menganggap pemerintah pasti punya jalan keluar untuk membayar utang tersebut. Itu bisa dilakukan melalui alokasi uang negara yang ada saat ini, ataupun dengan kembali menerapkan skema refocusing anggaran.

"Refocusing ataupun menggunakan anggaran PEN (pemulihan ekonomi nasional) saya kira intinya sama saja. Pemerintah bisa menutup kebutuhan biaya ini," ujar dia.

Piter pun tidak sampai berpikir pemerintah bakal kembali melakukan penarikan utang luar negeri guna menambal pengeluaran negara untuk bidang kesehatan ini.

"Kalaupun menambah defisit dan utang, juga bukan masalah besar. Kepentingan masyarakat banyak terkait kesehatan harus diutamakan," seru Piter.

 

 

5 dari 5 halaman

Pemerintah Pastikan Segera Bayar

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata memastikan jika tunggakan biaya perawatan pasien Covid-19 ini akan segera dibayar.

Saat ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mempersiapkan anggaran terkait tagihan perawatan pasien COVID-19 tahun 2021 yang masih menjadi tanggungan pemerintah sebesar Rp23 triliun.

Tagihan tersebut akan dibayarkan jika telah dilakukan verifikasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai wewenang dari Kementerian Kesehatan tersedia.

“Sudah disiapkan dan dibayarkan setelah hasil verifikasi oleh BPKP atas permintaan Kemkes tersedia,” kata Isa kepada Liputan6.com.

Layanan Rumah Sakit Jalan Terus

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi menegaskan, pelayanan terhadap pasien COVID-19 masih berjalan baik. Pemerintah sedang melakukan penyelesaian atas tagihan perawatan pasien. 

"Soal tunggakan, sampai saat ini belum menganggu cashflow-nya (arus kas) rumah sakit. Saat ini, dilakukan upaya percepatan penyelesaian tunggakan, karena ada prosedur administrasi yang harus dilakukan," kata Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com.

Sementara itu, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Abdul Kadir menegaskan, seluruh biaya perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit ditanggung Pemerintah. Dalam hal ini, pasien tidak mengeluarkan biaya apapun alias gratis.

Ketentuan perawatan pasien COVID-19 di atas sebagaimana merujuk dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

"Untuk pembayaran selama mereka masuk opname ke rumah sakit itu menjadi tanggungan Pemerintah. Itu diatur oleh Undang-Undang Wabah, maka semua perawatan di rumah sakit itu ditanggung oleh Pemerintah," terang Kadir saat temu media Update Perkembangan COVID-19 pada Kamis, 10 Februari 2022.

Pemerintah menanggung seluruh biaya perawatan pasien COVID-19 sampai dinyatakan sembuh atau negatif COVID-19 serta diperbolehkan pulang oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).

"Batasannya sampai dia (pasien) negatif dan diputuskan oleh DPJP bisa pulang. Apakah 5, 3 atau 4 hari itu sangat bergantung pada DPJP,  walaupun sudah 14-20 hari masih di ICU, itu pun kita (Pemerintah) tanggung," jelas Kadir.

"Diperbolehkan pulang ini, saat kondisi pasien normal dengan exit test PCR negatif."

Kemenkes juga telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor YR.03.03/III/0543/2022 tertanggal 27 Januari 2022. Surat yang diteken Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Abdul Kadir ditujukan kepada seluruh kepala daerah dan kepala rumah sakit agar tidak memungut biaya dari pasien COVID-19.

Pembiayaan perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit menjadi tanggung jawab Negara. Oleh karena itu, rumah sakit tidak diperkenankan untuk memungut biaya apapun kepada pasien, demikian bunyi SE.

SE juga menyebutkan, setiap rumah sakit yang merawat pasien COVID-19 diwajibkan mengisi data pasien COVID-19 di RS Online dan melakukan update data setiap hari. Kelengkapan data di RS Online akan dijadikan dokumen pembuktian dalam proses verifikasi klaim COVID-19.

Untuk rawat inap di rumah sakit hanya diperuntukkan bagi pasien COVID-19, termasuk varian Omicron dengan gejala sedang, berat dan kritis.

Untuk itu rumah sakit dapat berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas di wilayahnya bila pasien membutuhkan isolasi, tulis SE tersebut.

Selanjutnya, pasien tanpa gejala atau gejala ringan atau tanpa komorbid dapat melakukan isolasi mandiri di rumah bila memenuhi kriteria.

Kemenkes telah menyiapkan layanan konsultasi melalui telemedicine. Bagi pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk isolasi mandiri dapat melakukan isolasi terpusat.

Sebagai informasi, hingga 11 Februari 2022, pasien yang dirawat di rumah sakit mencapai 29 persen dari total kapasitas tempat tidur dan isolasi yang disediakan untuk pasien COVID-19 secara nasional. Sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit juga memiliki gejala ringan dan tanpa gejala (OTG).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini