Sukses

Cegah Kartel Minyak Goreng, Pemerintah Diminta Terapkan DPO

Pemerintah diminta terapkan kebijakan domestic price obligation (DPO), untuk mengatur harga di level produsen agar tidak ada kartel minyak goreng.

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Sigmaphi Muhammad Nalar menyarankan agar Pemerintah menerapkan kebijakan domestic price obligation (DPO), untuk mengatur harga di level produsen agar tidak ada kartel minyak goreng.

“Dari Kementerian Perdagangan itu batal menetapkan yang namanya DPO domestik Price obligation untuk CPO sebesar 9.300 per kilo, dan untuk minyak goreng Rp 10.300,” kata Nalar dalam Diskusi Publik Megawati Institute: Nasib Rakyat di Tengah Kenaikan Harga Bahan Pokok, Jumat (4/2/2022).

Menurutnya, Pemerintah tidak hanya mengatur harga minyak goreng di level konsumen yakni Rp 14.000 per liter. Melainkan juga penting mengatur harga produksi minyak goreng di level produsen.

Jika dilihat di situs resmi Kementerian Perdagangan bagian regulasi, kebijakan minyak goreng bersubsidi memang sudah dicabut dan diganti dengan HET minyak goreng. Tapi HET itu hanya di level konsumen penetapannya belum ada di level produsen.

Nalar menjelaskan, bahwasannya penjual ritel maupun pengecer itu tidak memiliki kuasa terkait pengendalian harga dari sisi produksi. Melainkan, yang punya kuasa untuk mengatur itu adalah produsen.

“Sebenarnya ini yang harus digenjot dan dipercepat aturan DPO ini bisa terealisasi dan harga minyak goreng di lapangan Akhirnya bisa terkendali dan tidak setinggi saat ini,” ucapnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Vonis KPPU

Lebih lanjut, KPPU pada 2010 memvonis 20 perusahaan minyak goreng yang melakukan praktik kartel kesepakatan harga dengan bukti pertemuan pengaturan harga.

Namun, ironisnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat itu membatalkan vonis KPPU, dengan pertimbangan bahwa tidak bisa dijadikan bukti. Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung kemudian menolak kasasi yang dilakukan KPPU.

“Jadi memang sebenarnya sinyal-sinyal itu udah ada yang perlu keterlibatan berbagai pihak dalam rangka mengawasi kegiatan kegiatan ini baik di KPPU atau mungkin dari sisi distribusi dan yang lainnya bisa melibatkan pihak-pihak Perdagangan, misalnya TPID atau polisi agar tidak ada penimbunan,” pungkasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.