Sukses

Waktu Pemberlakuan Aturan Pajak Baru di UU HPP 7 / 2021: PPh hingga Cukai

UU HPP disusun dengan pertimbangan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo resmi mengundangkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang atau UU HPP Nomor 7 Tahun 2021 pada tanggal 29 Oktober 2021. Sebelumnya, pemerintah bersama DPR telah mengesahkan UU HPP pada tanggal 7 Oktober 2021.

Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmadrin Noor mengingatkan masyarakat untuk memperhatikan dengan baik waktu pemberlakuan untuk tiap-tiap kebijakan pajak tersebut agar tidak sampai terlewat dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Melansir keterangan Kemenkeu, Minggu (7/11/2021), UU HPP terdiri atas 9 bab yang memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai. Atas masing-masing ruang lingkup memiliki waktu pemberlakuan kebijakan yang berbeda.

UU HPP disusun dengan pertimbangan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, perlunya strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.

Ini yang antara lain dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak.

Adapun rincian waktu pelaksanaan aturan baru pajak dalam UU HPP

- Perubahan UU PPh berlaku mulai Tahun Pajak 2022

- Perubahan UU PPN berlaku mulai 1 April 2022

- Perubahan UU KUP berlaku mulai tanggal diundangkan

- Kebijakan PPS berlaku 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022

- Pajak karbon mulai berlaku 1 April 2022

- Perubahan UU Cukai berlaku mulai tanggal diundangkan

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penjelasan DJP Soal Wajib Pajak Belum Bayar Denda Bisa Tidak Kena Pidana

Pemerintah kini memberikan keringanan sanksi bagi wajib pajak (WP) yang belum membayar pokok pajak, kemungkinan tidak dipidana.

Namun, Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama, menegaskan, bukan berarti aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini menghilangkan potensi penerimaan pajak.

"Berbagai bentuk substansi UU HPP selaras dengan tujuan Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya mengenai relaksasi sanksi-sanksi dalam perpajakan. Ini bukan berarti banyak kehilangan dari potensi penerimaan pajak segala macam, tidak," kata Hestu Yoga dalam Sosialisasi dan diskusi UU HPP di Denpasar, Bali, Jumat (5/11/2021).

Disamping itu, selain kemungkinan tidak dipidana, Wajib Pajak yang terlambat membayar pajak juga dikenakan sanksi yang lebih rendah dibandingkan sanksi pada aturan KUP lama sebesar 50-100 persen.

Adapun ketentuan sanksi dalam UU HPP, diantaranya sanksi pemeriksaan dan wajib pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yakni, PPh kurang dibayar akan dikenakan bunga per bulan sesuai dengan bunga yang berlaku di pasar sehingga tidak menjadi denda yang sangat tinggi, atau bunga per bulan sebesar suku bunga acuan ditambah uplift factor atau denda tambahan 20 persen dengan maksimal 24 bulan.

Sementara, pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dikenakan sanksi 50 persen.

Selanjutnya, untuk PPh kurang dipotong dikenakan bunga per bulan sesuai dengan bunga yang berlaku di pasar sehingga tidak menjadi denda yang sangat tinggi, atau bunga per bulan sebesar suku bunga acuan ditambah uplift factor atau denda tambahan 20 persen dengan maksimal 24 bulan, sedangkan pada UU KUP dikenakan sanksi 100 persen.

 

 

3 dari 3 halaman

Aturan Lainnya

Untuk PPh dipotong tetapi tidak disetor, sebelumnya dalam UU KUP dikenakan denda 100 persen dan dalam UU HPP kini dikenakan hanya 75 persen.

Kemudian untuk PPN dan PPnBM kurang bayar juga di UU HPP dendanya diturunkan menjadi 75 persen dari sebelumnya 100 persen.

Di sisi lain, bagi sanksi setelah upaya hukum namun keputusan keberatan atau pengadilan mengusulkan ketetapan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka wajib pajak dikenakan denda 30 persen dari sebelumnya 50 persen dalam UU KUP.

Kemudian, jika wajib pajak yang berperkara mengajukan banding akan dikenakan denda 60 persen, sebelumnya di UU KUP dikenakan 100 persen.

Yoga menilai sanksi yang rendah ini diharapkan membuat wajib pajak patuh dan sukarela serta mandiri dalam membayar kekurangan pajak beserta dendanya. Sementara, jika sanksi yang diberikan bagi Wajib pajak terlalu tinggi, justru mereka akan menghindar tidak membayar pajak dan dendanya.

Dengan demikian, jika wajib pajak tetap mangkir tidak bayar pajak dan denda. Maka opsi terakhir adalah mempidanakan.

"Bahkan ketika kita masuk tahapan untuk menindak pidana perpajakan, kita selalu memberi kesempatan kepada WP yang mengaku salah," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • UU HPP adalah singkatan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    UU HPP

  • Pajak adalah pungutan yang diwajib dibayarkan oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah.

    Pajak

  • Kementerian Keuangan merupakan salah satu kementerian negara di lingkungan Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan keuangan negara.

    Kementerian Keuangan

  • PPh