Sukses

Aktivis Tagih Negara Kaya di COP26 Bayar Utang Iklim ke Negara Berkembang

Aktivis keadilan iklim di sejumlah negara menantang pemerintah negara kaya yang hadir di KTT COP26 untuk melunasi utang untuk pembiayaan iklim.

Liputan6.com, Jakarta - Aktivis keadilan iklim di sejumlah negara menantang pemerintah negara kaya yang hadir di KTT COP26 untuk melunasi utang untuk pembiayaan iklim yang dinilai jauh dari yang dijanjikan sebesar USD 100 miliar per tahun. Di Indonesia, protes ketidakadilan iklim dilakukan di Kedutaan Besar Inggris Raya di Jakarta, Rabu (3/11/2021).

Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air dalam keterangannya menyebut bahwa negara-negara kaya yang hadir dalam konferensi tersebut telah berutang triliunan dolar dalam pendanaan iklim ke negara-negara selatan. Ia menilai, USD 100 miliar yang dijanjikan setiap tahunnya mulai 2020 hanyalah sebagian kecil dari kewajiban penuh negara tersebut.

“Kami berpandangan bahwa negara-negara peng-emisi terbesar emisi karbon seharusnya tidak hanya memenuhi janji kolektif USD 100 miliar, tetapi juga sepenuhnya memenuhi utang iklim mereka,” kata dia, dikutip Rabu (3/11/2021).

Reza mengatakan kebutuhan pendanaan iklim negara-negara berkembang untuk kerugian dan kerusakan dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari diperkirakan akan mencapai USD 1,2 triliun per tahun pada tahun 2060. 

Sehingga ia menilai pendanaan iklim adalah kewajiban oleh sebagian besar negara anggota G20 berdasarkan andil besar mereka dalam emisi historis dan terus berlangsung, oleh karena itu menjadi tanggung jawab merekalah atas krisis iklim.

“20 negara ekonomi terkaya di dunia menyumbang 80 persen emisi CO2 global dan bertanggung jawab atas krisis iklim yang sedang diderita warga dunia,” kata dia.

Mengacu pada Laporan Transparansi Iklim, emisi karbon dari 20 negara terkaya di dunia meningkat pesat pada tahun 2021 karena terus menggunakan bahan bakar fosil. Laporan Kesenjangan Emisi terbaru menunjukkan dunia berada di jalur untuk menghangat sekitar 2,7 derajat Celcius dan rencana nasional untuk mengurangi emisi karbon jauh dari apa yang dibutuhkan untuk mencegah bencana iklim.

Atas dasar itu, Reza menyebut orang-orang di belahan Selatan Dunia terus menderita akibat dampak krisis iklim. Dampak ini diperkirakan akan terus berlanjut dan memburuk di tahun-tahun mendatang.

“Banyak dari perubahan yang tidak dapat dicegah. Sekarang saatnya bagi negara-negara maju untuk memberikan pendanaan iklim untuk menutupi biaya adaptasi serta kerugian dan kerusakan di negara-negara berkembang. Pendanaan iklim sangat dibutuhkan sekarang,” paparnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dipertimbangkan Secara Terpisah

Sementara itu, dalam keterangannya, ia mneyebut pembiayaan atas kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim harus dipertimbangkan secara terpisah dari dana adaptasi dan mekanisme kelembagaan dan harus memprioritaskan orang-orang yang paling rentan.

Selain itu, pendanaan iklim harus diberikan sebagai dana publik dan bukan sebagai investasi swasta yang mengharapkan pengembalian atau dalam bentuk pinjaman dan instrumen penciptaan utang lainnya.

“Pendanaan iklim internasional meningkat hanya 2 persen dari 2018 hingga 2019, meninggalkan kekurangan USD20 miliar untuk target 2020, menurut data OECD terbaru. Data OECD juga menunjukkan bahwa banyak pendanaan iklim yang dimobilisasi oleh negara-negara maju dalam bentuk pinjaman daripada hibah,” katanya.

Dari total pendanaan iklim yang dimobilisasi dari berbagai mekanisme keuangan oleh negara-negara industri kaya pada tahun 2018, 74 persen atau USD 46,3 miliar berbentuk pinjaman, sementara hanya 20 persen yang merupakan pendanaan berbasis hibah.

“Kegagalan negara-negara kaya untuk memberikan kontribusi target tahunan US$100 miliar mereka untuk pendanaan iklim seperti yang disepakati pada tahun 2009 telah sangat merusak kepercayaan masyarakat dan gerakan di negara-negara Selatan,” katanya.

Mundur kebelakang, pada 2009, negara-negara kaya setuju dan berjanji untuk menyumbangkan USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020 kepada negara-negara berkembang untuk menutupi biaya mitigasi perubahan iklim, adaptasi, dan kebutuhan kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim. Angka USD 100 miliar diturunkan secara politis dan jauh dari kebutuhan iklim aktual negara berkembang, yang menurut UNFCCC menjadi USD 6 triliun pada tahun 2030.

“Kami menantang negara-negara kaya untuk memberikan rencana dan jadwal yang jelas untuk membayar utang iklim mereka. Kami telah mendengar cukup banyak janji dan janji. Sekarang adalah waktunya untuk memberikan sepenuhnya pendanaan iklim yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara Selatan,” tukasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.