Sukses

Sri Mulyani Bongkar Penyebab dan Kesalahan Negara ASEAN di Krisis Moneter 1997 - 1998

Sri Mulyani menceritakan kilas balik saat Indonesia terkena krisis moneter di 1997-1998.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, bagaimana kondisi terjadinya krisis moneter pada saat 1997-1998 silam. Krisis tersebut terjadi akibat kebijakan makro ekonomi yang diambil negara-negara ASEAN keliru.

Saat itu negara-negara ASEAN relatif maju dan selama beberapa dekade menunjukkan ekonomi yang bagus pertumbuhannya. Ini dikarenakan negara-negara di bagian itu industrialisasi berorientasi ekspornya cukup kompetitif.

"Sehingga dia selalu bisa mendapatkan devisa dari ekspornya. Namun waktu itu sebagian dari sisi fundamental ekonomi sudah cukup kompetitif namun makro kebijakan itu ditopang terutama dari sisi moneter adalah kebijakan nilai tukar yang fix. Atau nilai tukar tetap sehingga dolar terus menerus tetap," kata Sri Mulyani dalam acara peluncuran Buku 25 Tahun Kontan : Melintasi 3 Krisis Multidimensi," Minggu (24/10/2021).

Bendahara Negara itu melanjutkan, krisis moneter di trigger karena fenomena current account deficit (CAD) di negara-negara Asia Timur termasuk Korea Selatan. Ini terjadi karena itu berhubungan dengan capital account langsung.

"Jadi capital flow nya bebas tetapi nilai tukarnya fix dan kemudian terjadilah CAD. Di mana CAD itu mencapai level yang disebut biasanya 3 persen sebagai trigger dianggap negara itu mungkin tidak sustainable," ujarnya.

Sustainable itu sendiri dilihat dari sisi apakah kebijakan diambil negara-negara konsisten. Sehingga kemudian munculnya fenomena yang mendapatkan keuntungan besar dari nilai tukar yang dia ambil dari negara yang nilai tukarnya tidak sustainable. Sehingga nilai tukarnya rugi tidak bisa dipertahankan, akibat CAD semakin mengalami penurunan.

Itulah yang kemudian nilai tukarnya mengalami koreksi yang koreksinya mendalam, trigger-nya terjadi dominonya efek.

"Jadi kalau kita lihat krisis pertama adalah krisis yang ditrigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar yang fix," ujarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Efek Domino

Dengan kondisi berubah ini, maka domino efeknya adalah kepada perusahaan-perusahaan dan perbankan di negara-negara luar termasuk Indonesia.

Sebab, jika perusahaan atau perbankan meminjam dalam bentuk dolar di luar negeri karena nilai tukarnya murah, begitu nilai tukarnya dikoreksi dari Rp2.500 menjadi Rp5.000, menjadi Rp7.500, menjadi Rp10.000 bahkan jadi Rp17.000 maka akan berdampak kepada kondisi keuangan

"Kalau utang kita berlipat ganda walaupun tadi utangnya sama tetapi nilai tukar berubah maka penerimaan ada yang dalam bentuk rupiah menjadi tidak bisa mampu untuk membayarnya kembali," jelas dia.

Oleh karenanya, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu melihat krisis terjadi pertama saat itu karena nilai tukar yang fix. Semua perusahaan bank dan korporasi besar sebelumnya mereka pinjam, maka terkena duluan.

"Maka krisis pertama itu ditandai dengan tidak hanya di sektor riil tetapi sektor perbankan. Negara itu sistem keuangan yang pasti terkena secara langsung makanya yang terjadi adalah krisis moneter disebutnya Jadi ini krisis pertama penyebabnya sangat spesifik," pungkas dia.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.