Sukses

Kapan Indonesia Merdeka dari Ketergantungan Energi Fosil?

Kebijakan hijau di bidang energi dan dukungan publik menjadi kunci untuk mewujudkan Indonesia merdeka atau lepas dari ketergantungan terhadap energi fosil.

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan hijau di bidang energi dan dukungan publik menjadi kunci untuk mewujudkan Indonesia merdeka atau lepas dari ketergantungan terhadap energi fosil.

Pasalnya, Kehadiran kebijakan hijau sangat penting untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan lebih masif lagi di Indonesia.

Ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur mengatakan untuk bisa lepas dari ketergantungan energi fosil di sektor listrik, maka Indonesia harus mengembangkan energi terbarukan labih masif untuk memenuhi dan menjaga ketahanan energi nasional.

Sebagai catatat, hingga kini saat memperingati 76 tahun Kemerdekaan, Indonesia masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap energi fosil, yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas.

"Porsi penggunaan energi fosil mencapai 80 persen lebih dalam bauran energi primer nasional. Sedangkan pemanfaatan energi terbarukan baru mencapai sekitar 11 persen," kata dia dikutip Rabu (18/8/2021).

Pemanfaatan energi terbarukan yang rendah emisi karbon, seperti tenaga matahari, air, angin, dan panas bumi, sangat penting untuk melindungi kehidupan di bumi dari perubahan iklim.

Selama ini salah satu sumber emisi karbon dunia yang memicu  perubahan iklim berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil.  Karena itu PBB menyerukan negara-negara  untuk segera beralih ke energi terbarukan sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dari sektor energi. 

Indonesia sebenarnya mampu mendorong penggunaan energi terbarukan lebih masif sehingga merdeka dari energi fosil. “Syaratnya yaitu menerapkan kebijakan yang lebih hijau di sektor energi, dan adanya dukungan publik untuk beralih ke energi terbarukan,” kata Hayat Mansur.

Setidaknya ada tiga kebijakan hijau yang bisa ditempuh untuk mengembangkan energi terbarukan di Tanah Air. Pertama, menghadirkan UU tentang energi terbarukan, Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUTPL) yang lebih hijau, dan regulasi mengenai pajak emisi karbon.

Kebijakan-kebijakan energi hijau tersebut  harus mendapat dukungan penuh dari publik, bukan hanya dukungan dari para pemangku kepentingan. Dukungan publik penting untuk mengatasi berbagai potensi dampak negatif dari transisi energi fosil ke energi terbarukan yang nirkarbon.

"Jadi perlu ada penyebaran informasi, dialog sosial, dan edukasi publik mengenai upaya merdeka dari energi fosil agar publik mendukung penuh transisi ke energi terbarukan yang lebih bersih karena nirkarbon," ungkap dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ketersediaan Energi Bersih

Dari sisi ketersediaan energi bersih, Indonesia termasuk negara paling kaya sumber energi terbarukan dengan memiliki potensi energi terbarukan besar mencapai 417,8 GW. Salah satu yang terbesar adalah dari energi air mencapai 75 GW (75.000 MW).

Pemanfaatan air sebagai energi listrik di Indonesia juga bisa mencapai kapasitas besar dan mampu mengurangi emisi karbon sangat signifikan.

Misalnya, PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.

Dalam mengembangkan energi terbarukan Indonesia dapat mencontoh keberhasilan India dalam mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya, dan Tiongkok dalam mengembangkan pembangkit listrik tenaga air.

Keduanya termasuk negara yang memiliki kapasitas terbesar untuk PLTS dan PLTA. Salah satu kunci keberhasilan kedua negara tersebut adalah adanya kebijakan hijau dan konsistensi dalam program energi terbarukan.

Pengembangan energi terbarukan di Indonesia sangat penting, bukan hanya untuk ketahanan energi, tapi juga untuk menjaga kelestarian lingkungan terutama mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon dari sektor energi.

Berdasarkan Persetujuan Paris pada 2015, semua negara harus menurunkan emisi karbonnya termasuk di sektor energi untuk menjaga menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29% dengan usaha sendiri pada 2030, dan bisa mencapai 41% jika ada dukungan internasional. Salah satu instrumen untuk mengendalikan emisi karbon adalah perlu adanya  ketentuan mengenai pengenaan pajak karbon. Pajak karbon juga untuk sumber pendanaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.