Sukses

Hadi Poernomo Ungkap Penyebab Tax Ratio Indonesia Masih Rendah

Tax ratio Indonesia sudah mencapai angka 12 persen pada 2005. Namun, setelah itu kinerja tax ratio konsisten menurun.

Liputan6.com, Jakarta - Tax ratio Indonesia paling rendah di antara negara G20 dan ASEAN. Tax ratio Indonesia masih di bawah 10 persen atau masih single digit. Sedangkan sebagian besar negara G20 dan ASEAN sudah di atas 10 persen atau double digit.

Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hadi Poernomo menjelaskan, ada rumus sederhana untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio.

Salah satu penyebab tax ratio Indonesia rendah karena inkonsistensi penerapan kebijakan perpajakan. Menurutnya dasar hukum sudah tersedia sebagai alat meningkatkan kinerja penerimaan pajak.

"Dasar hukum pajak Indonesia sudah ada tinggal pada pelaksanaan UU itu yang diduga inkonsisten yang tidak sesuai dengan undang-undang," katanya dikutip dari Belasting.id, Selasa (20/9/2022).

Mantan bos pajak itu menuturkan tax ratio Indonesia sudah mencapai angka 12 persen pada 2005. Namun, setelah itu kinerja tax ratio konsisten menurun.

Menurutnya, implementasi kebijakan perpajakan yang tidak konsisten menjadi salah satu faktor yang menghambat kenaikan angka tax ratio. Implementasi kebijakan pada level peraturan menteri hingga peraturan Dirjen Pajak masih tidak konsisten dengan aturan UU.

Setidaknya ada dua kebijakan yang inkonsisten seperti implementasi Pasal 35A UU KUP No.28/2007 terkait dengan hak petugas pajak mengakses data keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Kemudian Pasal 95 RUU KUP yang dikirim Presiden Joko Widodo kepada DPR pada 2016 yang mengatur kedudukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah kendali presiden. RUU yang kemudian dicabut kembali oleh pemerintah.

"Hasil penelitian kami ini sederhana, tinggal meluruskan di mana pajak itu seharusnya berdiri. Sesuai RUU KUP 2016 itu di bawah langsung presiden," paparnya.

Menurutnya, dengan kewenangan langsung di bawah presiden, DJP memiliki posisi tawar yang kuat untuk meminta data keuangan dari kementerian lain. Posisi tersebut menjadi sulit saat DJP sebagai institusi eselon I harus berhadapan dengan kementerian/lembaga seperti yang berlaku sekarang.

"Jadi harus diluruskan aturan perundang-undangan agar penerimaan pajak dapat meningkat. Kalau itu terbentuk [DJP di bawah presiden] maka tax ratio akan naik dengan sendirinya dengan DJP bisa melakukan uji kepatuhan dengan data perbankan dan pasar modal," imbuhnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tax Ratio Indonesia Paling Rendah di G20 dan ASEAN

Sebelumnya, tax ratio Indonesia paling rendah di antara negara G20 dan ASEAN. Tax ratio Indonesia masih di bawah 10 persen atau single digit sedangkan negara G20 dan ASEAN sudah di atas 10 persen atau double digit.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, tax ratio Indonesia pada 2021 lalu sebesar 9,11 persen terhadap PDB. Angka tersebut jika memasukkan kepabeanan dan cukai. Sedangkan jika hanya menghitung pajak murni maka tax ratio Indonesia hanya 7,52 persen bila rasio pajak murni (minus kepabeanan dan cukai).

Untuk diketahui, tax ratio atau rasio pajak adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto. Rasio ini merupakan alut ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak suatu Negara.

Komponen penerimaan pajak di Indonesia mencakup penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Minyak dan Gas, dan PNBP Pertambangan Umum. Pajak daerah tidak menjadi komponen perhitungan Rasio Pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, Indonesia perlu melakukan reformasi di bidang perpajakan sebagai upaya mengungkit tax ratio. Selain itu, juga membutuhkan percepatan reformasi dalam menjalankannya.

 

3 dari 3 halaman

Agenda Reformasi Perpajakan

Adapun agenda reformasi perpajakan mencakup perbaikan penerimaan negara, menggalakan penggunaan teknologi informasi (TI), memperbaiki proses bisnis, dan perbaikan sisi legislasi.

“Kenapa reform? Ya, karena kebutuhan dari perekonomian berubah, tantangan makin rumit dan kebutuhan kita untuk tax collection yang memadai, [dan] tax rasio kita itu termasuk yang terendah di region kita, maupun di G20, atau di ASEAN,” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Kamis (21/7/2022).

Sri Mulyani menjelaskan kebutuhan pembangunan dan perkembangan negara masih banyak. Seperti halnya kebutuhan di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perbaikan TNI dan Polri.

Menurutnya, penerimaan negara menjadi salah satu penopang keberlangsungan perbaikan di semua sektor tersebut. Dana yang dipakai, kata Sri Mulyani, berasal dari penerimaan pajak.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.