Sukses

Ingat! Kripto Bukan Alat Pembayaran yang Sah, Hanya Sebatas Aset Komoditas

Kripto bukanlah mata uang yang bisa digunakan untuk alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga menegaskan, bahwa kripto bukanlah mata uang yang bisa digunakan untuk alat pembayaran yang sah di Indonesia. Sebaliknya mata uang digital itu hanya diakui sebagai aset digital yang masuk kelompok komoditas perdagangan.

"Saya sampaikan juga biar tidak mispersepsi, kalau di Indonesia kripto bukan di jadikan alat pembayaran. Tetapi cryptocurrency itu kalau di Indonesia dijadikan sebagai aset komoditas," tegasnya dalam acara Milenial Hub 2021, Sabtu (3/7).

Meski begitu, dia menyebut bahwa kripto sangat potensial untuk dijadikan sumber pendapatan baru negara. Mengingat, kian pesatnya peningkatan nilai penjualan dari mata uang digital yang tengah naik daun itu.

Jerry mencatat, saat ini, nilai perdagangan kripto sudah mencapai Rp1,7 triliun per hari. Adapun total akumulasi per Mei 2021 lalu mencapai mencapai Rp 370,4 triliun.

Maka dari itu, Kementerian Perdagangan melalui Bappebti akan fokus melakukan pengaturan aset mata uang digital itu sebagai aset komoditas melalui pembentukan bursa crypto. Tujuannya, untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap pelaku usaha pedagang aset kripto, termasuk para investor.

"Jadi melalui bursa, kita ingin kripto bisa diperdagangkan secara legal, secara sah, dan secata lebih terorganisir," tukasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ekonom: Regulasi Aset Kripto di Indonesia Tak Konsisten

Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang lembaga keuangan di Indonesia menggunakan kripto, lantaran mata uang digital ini bukan merupakan alat pembayaran yang sah.

Namun disisi lain Kementerian Perdagangan menekankan kripto adalah salah satu aset digital yang masuk kategori sebagai komoditas dalam perdagangan.

Menanggapi, Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai kebijakan untuk mengatur aset kripto di Indonesia tidak konsisten.

“Tujuan dari pembuatan bursa kripto adalah mengejar capital gain tax atau pajak atas keuntungan dari transaksi kripto. Masalahnya kebijakan untuk meregulasi aset kripto sangat tidak konsisten,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Kamis (1/7/2021).

Bhima menyebut terdapat 3 hal yang menjadi permasalahan terkait pengaturan kripto di Indonesia, yaitu pertama, BI akan mengeluarkan central bank digital currency sementara bitcoin cs tidak dilarang.

“Tidak bisa ada dual sistem dalam sistem moneter di suatu negara. China misalnya luncurkan yuan digital kemudian bekukan semua aktivitas kripto lain,” jelasnya.

Kedua, memajaki kripto artinya dengan sadar pemerintah memasukkan bitcoin cs sebagai aset yang legal. Tentunya hal ini memiliki implikasi panjang terkait dampak aset kripto terhadap spekulasi dan merugikan banyak investor.

“Masa negara memfasilitasi aset yang dia sendiri tidak punya kendali atas naik turunnya harga? Di pasar saham ada ARA dan ARB atau auto  reject. Apa di bursa kripto juga ada kan gak logis harga bitcoin dikasih batas pemerintah,” ungkapnya.

Permasalahan ketiga, kata Bhima, dalam sehari ada Rp 1,7 triliun perputaran uang di transaksi kripto. Artinya uang yang harusnya masuk ke sektor riil jadi berputar-putar di aset yang spekulatif.

“Ini kontra terhadap pemulihan ekonomi nasional.  Jadi pemerintah jangan lihat ini sumber penerimaan pajak saja, kemudian mau diatur bursa berjangka. Dikaji juga implikasi ke risiko keuangan Indonesia,” pungkasnya.    

3 dari 3 halaman

Nilai Transaksi Kripto di Indonesia Tembus Rp 370 Triliun, Digunakan 6,4 Juta Orang

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, mengatakan nilai transaksi mata uang kripto atau cryptocurrency di Indonesia sudah mencapai Rp 370 triliun, dengan jumlah pelanggan sebanyak 6,4 juta.

“Di Indonesia saat ini nilai transaksi cryptocurrency sudah mencapai Rp 370 triliun. Jumlah pelanggan sudah mencapai 6,4 juta dan saat ini cryptocurrency diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan ini BI sudah menyatakan bahwa kripto bukan merupakan mata uang dan bukan merupakan alat pembayaran,” kata Airlangga dalam webinar Urgensi Pengelolaan cryptocurrency di Indonesia disiarkan dikanal Youtube BalitbangGolkar.TV, Rabu (30/6/2021).

Menurutnya, perkembangan teknologi telah melahirkan cryptocurrency sebagai mata uang dan aset digital yang akan semakin berkembang di masa mendatang.

Tentunya kriptomerupakan sebuah aset digital alternatif yang mau tidak mau perlu diikuti dipelajari oleh sistem ekonomi negara maupun nantinya di dunia internasional. Selain itu, Cryptocurrency masih menjadi hal yang perlu dibahas secara lebih mendalam.

“Karena itu negara harus mempunyai sikap yang jelas melihat perubahan transformasi dalam sektor keuangan dan komoditas agar tidak gagap dan bisa melindungi kepentingan masyarakatnya,” ujarnya.

Disamping itu, sesuai dengan undang-undang mata uang kripto sudah ditegaskan di dalam surat edaran Menko Perekonomian, bahwa perdagangan kripto mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Untuk itu perlu adanya optimalisasi manfaat dan meminimalisasi dampak samping sesuai dengan karakteristik yang terdesentralisasi di lintas batas negara. Dia menegaskan, kripto harus dilihat sebagai tantangan yang bisa memberikan dampak bagi perekonomian khususnya di bidang investasi dan perdagangan komoditas.

“Oleh karena itu, langkah-langkah akomodatif fasilitatif dan juga bisa mengoptimalkan pemanfaatan kripto sekaligus juga meminimalisir kemungkinan dampak negatif karena ini merupakan aset yang underlyingnya perlu untuk dijaga, agar mereka mengerti apa yang mereka beli dan apa yang mereka investasikan,” tegasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.