Sukses

Restrukturisasi Kredit Turun dari Rp 900 Triliun Jadi Rp 775 Triliun

Porsi restrukturisasi kredit terbesar ada di sektor real estate, usaha persewaan dan jasa perusahaan yaitu 28,63 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan adanya penurunan jumlah restrukturisasi kredit perbankan yang pada awalnya di angka Rp 900 triliun menjadi Rp 775 triliun per April 2021.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, penurunan jumlah restrukturisasi kredit ini menandakan sebagian sektor sudah mengalami pemulihan dari dampak pandemi Covid-19.

"Restrukturisasi kredit, yang tadinya Rp 900 triliun sudah turun, sudah dibawah Rp 800 triliun dan ini sudah Rp 775 triliun. Artinya ini sebagian sudah menjadi normal, tapi memang tidak semuanya," ujar Wimboh dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (14/6/2021).

Secara rinci, restrukturisasi ini berasal dari 5,29 juta debitur, terdiri dari 3,71 debitur UMKM dengan nilai Rp 299,15 triliun dan 1,58 juta debitur non UMKM dengan nilai Rp 476,16 triliun.

Berdasarkan sektornya, porsi restrukturisasi kredit terbesar ada di sektor real estate, usaha persewaan dan jasa perusahaan yaitu 28,63 persen. Kemudian, sektor perdagangan besar dan eceran 20,54 persen, konstruksi 18,59 dan transportasi, pergudangan dan komunikasi 14,53 persen.

Wimboh mengatakan, penurunan restrukturisasi kredit tergantung dari jenis sektor hingga status nasabah.

"Seperti sektor yang tergantung mobilitas, ada yang pergerakannya lambat atau bahkan yang nggak move sama sekali, terutama pariwisata mancanegara, yang hotelnya bintang 5, itu mau diapakan, nah ini belum membutuhkan kredit yang cukup besar," kata Wimboh.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

10 Persen Nasabah Restrukturisasi Kredit Berpotensi Gagal Bayar

Sebelumnya, ekonom senior INDEF, Aviliani meminta pemerintah membuat kebijakan lanjutan pasca restrukturisasi kredit berakhir. Sebab diperkirakan akan ada 10 persen pinjaman yang direstrukturisasi mengalami gagal bayar.

"Perlu ada kebijakan pasca restrukturisasi kredit berakhir karena ada potensi 10 persen yang enggak bisa ditagih dan berpotensi jadi NPL di perbankan," Aviliani dalam Peluncuran Buku Kebijakan Makroprudensial di Indonesia, Jakarta, Jumat (28/5/2021).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperpanjang kebijakan restrukturisasi hingga Maret 2022. Bila kondisi ekonomi masih belum berubah banyak, diperkirakan akan ada debitur yang gagal bayar ketika masa restrukturisasi berakhir.

"Konon ini akan memburuk pasca kebijakan relaksasi berakhir," kata dia.

Salah satu patokan yang digunakan untuk melihat potensi itu yakni masih banyak perusahaan yang belum melakukan pinjaman kepada bank. Artinya kondisi perusahaan masih belum banyak perubahan.

"Banyak perusahaan yang belum mengajukan pinjaman kembali," kata dia.

Maka pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan baru agar perusahaan tidak terjebak gagal bayar dan tidak mengganggu sektor keuangan dan ekonomi tetap tumbuh. Selain itu perlu ada skema khusus agar para debitur ini bisa tertangani ketika kebijakan relaksasi berakhir.

"Bisa dibuatkan badan yang tampung mereka dan ini agar bank tidak memiliki NPL yang besar," kata dia.

Sebab, lanjutnya, perbankan juga butuh modal yang besar saat restrukturisasi kredit selesai. Sehingga perlu ada kebijakan pasca relaksasi, agar tidak ada penurunan sistem keuangan," kata dia mengakhiri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.