Sukses

Garuda Indonesia Butuh Bantuan Pertamina

Utang maskapai nasional Garuda Indonesia terus menumpuk mencapai Rp 70 triliun dan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun tiap bulannya.

Liputan6.com, Jakarta Utang maskapai nasional Garuda Indonesia terus menumpuk mencapai Rp 70 triliun dan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun tiap bulannya.

Berbagai siasat pun dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan, mulai dari pensiun dini karyawan hingga penangguhan gaji komisaris. Opsi penyelamatan pun disampaikan oleh Kementerian BUMN selaku pemilik saham terbesar perseroan.

Menurut pengamat penerbangan Gatot Raharjo, Garuda juga perlu membenahi kondisi eksternal, tidak hanya internal, karena faktor eksternal juga mempengaruhi kondisi perusahaan ke depan, misalnya soal pengadaan avtur.

"Avtur (oleh Pertamina) ini hampir 30 persen biaya maskapai. Kalau avtur bisa diringankan misal harganya diturunkan atau sistem pembayaran dibuat tidak memberatkan, itu sangat membantu Garuda," kata Gatot saat dihubungi Liputan6.com, Senin (7/6/2021).

Adapun, lanjutnya, manajemen internal perusahaan sudah melakukan restrukturisasi hutang sewa dan pengadaan pesawat sebesar 20 persen dari biaya maskapai. Restrukturisasi harus didorong agar meringankan beban Garuda.

"Soal komisaris, sebaiknya tidak usah dikurangi tapi diganti dengan orang-orang yang lebih kompeten, biayanya tidak mahal kok," kata Gatot.

Kata Gatot, pemerintah sebagai pemilik saham harus bisa mempertimbangkan, apakah Garuda Indonesia masih harus menjalani penerbangan penugasan yang biasanya rugi, atau penerbangan tersebut dikurangi agar rute-rute yang rugi segera ditutup.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pengaturan Tarif

Soal pengaturan tarif, rute, slot (frekuensi penerbangan), bea masuk sparepart dan pesawat juga dinilai harus dilakukan pemerintah, bukan hanya untuk kebaikan operasional Garuda tapi juga maskapai lain.

"Misalnya, di satu rute itu dihitung demand, lalu pemerintah baru perhitungkan supply, dan dibagi berdasarkan jumlah layanan maskapai. Jadi maskapai tidak boleh memonopoli frekuensi penerbangan di rute tersebut," jelas Gatot.

Kemudian, maskapai harusnya dibiarkan menjual harga tiket sesuai nilai keekonomisan masing-masing, tidak perlu ditekan harus jual harga segini-segitu. Pemerintah cukup mengawasi, jangan sampai maskapai perang harga rendah yang membuat salah satu maskapai rugi dan mati.

Jika itu bisa dibenahi semua, operasional maskapai akan terjadi dan cash flow berjalan. Garuda Indonesia dan maskapai lain bisa hidup lagi.

"Intinya, kalau mau menyelamatkan Garuda, pemerintah harus melakukan pembenahan internal dan eksternal. Jika cuma internal, itu hanya jangka pendek. Habis itu akan terjadi pengulangan lagi," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.