Sukses

Imbas Kenaikan PPN, Harga Barang Makin Mahal dan Daya Beli Tertekan

Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2022 justru akan menekan daya beli masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim menilai rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan justru akan menekan daya beli masyarakat.

“Daya beli yang sudah tertekan akan semakin tertekan lagi,” katanya dikutip dari Antara, Selasa (11/5/2021).

Rizal menuturkan hal itu terjadi karena kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 15 persen akan menyebabkan kenaikan pada harga barang.

Menurutnya, masyarakat akan memilih untuk membatasi konsumsi karena tahun depan masih dalam situasi pemulihan sehingga kegiatan perekonomian belum kembali stabil.

Ia menjelaskan situasi masyarakat juga sedang mengalami kesulitan akibat dari kompleksitas dampak pandemi COVID-19 seperti adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan UMKM yang mengalami penurunan penjualan.

“Yang lagi usaha pendapatannya tertekan sementara ada kredit yang harus diselesaikan,“ ujarnya.

Ia memperkirakan kenaikan tarif PPN pada tahun depan justru akan menghilangkan optimisme pemulihan Indonesia mengingat pertumbuhan ekonomi ditunjang oleh konsumsi masyarakat.

Ia menyarankan agar pemerintah seharusnya semakin memberikan perlindungan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat di tengah situasi saat ini.

“Tetapi yang terjadi adalah secara sadar kita melihat banyak kebijakan sektoral yang seolah-olah tidak dilakukan koordinasi kebijakan di tingkat atas,” tegasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pengusaha Muda Tolak Rencana Kenaikan Tarif PPN

Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun depan. Rencana ini dalam waktu dekat akan dibawa di DPR untuk mendapatkan persetujuan.  

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyoroti rencana kenaikan tarif PPN yang dinisasikan pemerintah di tahun depan. Kenaikan ini disebut-sebut bertujuan untuk mengejar target pajak di 2022.

Berdasarkan Undang-Undang PPN pasal 7 pemerintah bisa mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Adapun saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, yakni 10 persen.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, Ajib Hamdani mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN tersebut menjadi sebuah opsi kebijakan pragmatis yang dilontarkan pemerintah, dan cenderung mengabaikan kondisi pemulihan ekonomi yang belum normal. Indikator yang cukup jelas, pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 2021 masih terkonstraksi, di kisaran -0,74 persen.

"Apakah kebijakan pemerintah ini tepat dalam masa pandemi seperti ini?" kata Ajib mempertanyakan, kepada merdeka.com, Selasa (11/5/2021).

Di sisi lain, pemerintah sudah memprediksi bahwa ekonomi masih membutuhkan waktu untuk pemulihan secara normal setelah tahun 2022 nanti, dengan disetujuinya Perpu Nomor 1 tahun 2020, yang disahkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi Covid-19.

Berdasarkan catatan, data penerimaan pajak tahun 2020, PPN dalam negeri memberikan kontribusi pemasukan sebesar Rp 298,4 triliun dan PPN Impor sebesar 140,14 triliun. Total PPN sejumlah Rp 439,14 triliun ini setara dengan 36,63 persen pemerimaan pajak.

Dia menyarankan, baiknya pemerintah harus lebih fokus dengan pembuatan database yang valid dan terintegrasi, sehingga orientasinya adalah untuk ekstensifikasi dan mengurangi shadow economy. Upaya ini akan lebih mendorong kenaikan pemasukan buat negara, menjaga sustainability penerimaan dan memberikan keadilan buat masyarakat.

Dengan begitu maka fungsi pajak akan secara optimal, selain sebagai budgeteir, pengumpul uang buat negara, juga sebagai regulerend, pengatur ekonomi dan sebagai redistribusi pendapatan yang berkeadilan. Mengingat pembuatan database yang valid dan terintegrasi, lebih berorientasi jangka panjang dibandingkan dengan sekedar opsi menaikkan tarif PPN, yang cenderung memberikan beban berlebih kepada masyarakat.

"Opsi kenaikan PPN, adalah opsi kebijakan yang cenderung kontraproduktif dan tidak pro dengan masyarakat luas di masa pandemi yang belum selesai," jelasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumbr: Merdeka.com 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.