Sukses

Waduh, 1.200 Fintech Ilegal Ditutup Sepanjang 2020

Satgas Waspada Investasi (SWI) sudah menutup dan menghentikan lebih dari 1.200 fintech ilegal sepanjang 2020 hingga Februari 2021.

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara, mengungkapkan Satgas Waspada Investasi (SWI) sudah menutup dan menghentikan lebih dari 1.200 fintech ilegal sepanjang 2020 hingga Februari 2021. Namun fintech ilegal masih terus bermunculan sampai saat ini.

"SWI menutup dan menghentikan lebih dari 1.200 fintech ilegal dalam satu tahun. Artinya dalam satu hari bisa tiga sampai empat yang ditutup, tapi masih saja bermunculan," ungkap Tirta dalam webinar Infobank pada Selasa (13/4/2021).

Selain itu, SWI dalam priode yang sama juga menghentikan dan menutup 390 kegiatan investasi ilegal. Artinya, lebih dari satu setiap hari ditutup. Selain itu, SWI juga menutup 92 layanan gadai ilegal.

Meski sudah memakan banyak korban dengan kerugian yang sangat besar, kata Tirta, masih banyak masyarakat yang percaya dengan berbagai tawaran investasi ilegal.

"Kasus investasi ilegal termasuk fintech dan juga gadai ilegal pada masa pandemi marak terjadi. Itu terjadi di berbagai wilayah Indonesia," tutur Tirta.

Tirta mengimbau masyarakat untuk selalu waspada. Masyarakat diminta untuk memeriksa legalitas perusahaan investasi dan fintech sebelum bertransaksi.

Caranya dengan menghubungi nomor kontak yang sudah disediakan oleh OJK yaitu call center 157. Selain itu, juga bisa menghubungi melalui WhatsApp pada nomor 081157157157.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Awas, 3 Hal Ini Picu Masyarakat Tergoda Fintech Ilegal

Vice President Digital Banking Development and Operation Division Bank Rakyat Indonesia Kholis Amhar, memaparkan tiga faktor pemicu masyarakat mudah tergoda fintech ilegal. Pertama, pemasaran fintech cukup masih dilakukan di seluruh media sosial.

"Pertama karena pemasaran fintech itu sangat masif dan mereka bisa menyediakan solusinya dari server di luar negeri," ujar Kholis dalam diskusi daring, Jakarta, Selasa (13/4).

Kemudian, faktor kedua adalah kebutuhan masyarakat yang meningkat pesat di tengah pandemi Virus Corona. Sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan.

"Kemudian juga ada perilaku masyarakat dipicu Covid-19. Di mana kebutuhan dana sehari-hari itu meningkat, banyak kehilangan pekerjaan tapi kebutuhan meningkat," jelas Kholis.

Dia menambahkan, faktor ketiga adalah, literasi keuangan yang minim namun penetrasi internet cukup tinggi. Penetrasi terus dilakukan fintech ilegal dengan menampilkan iklan yang menggiurkan.

"Rendahnya literasi keuangan masyarakat sementara penetrasi teknologi tinggi. Ada penawaran pencairan dana yang cepat dan syarat yang mudah serta kemudahan akses maka mendorong terjadinya transaksi melalui fintech ilegal," tandasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.