Sukses

Tak Kunjung Selesai, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Jadi PR Pemerintah dan DPR

Pemerintah dan DPR masih memiliki tunggakan yang belum diselesaikan kurang lebih selama 15 tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif mengatakan, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana saat ini menjadi hal yang penting. Menurutnya, Pemerintah dan DPR masih memiliki tunggakan yang belum diselesaikan kurang lebih selama 15 tahun ini.

Saat ratifikasi pada konvensi PBB mengenai anti korupsi, terdapat klausul yang berisi bahwa negara peserta konvensi harus menyesuaikan undang-undang nasional dengan konvensi PBB mengenai anti korupsi paling lambat satu tahun setelah ratifikasi dilakukan.

“Namun, sampai saat ini kita belum melakukan perubahan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk disesuaikan dengan konvensi PBB mengenai anti korupsi,” jelas Edward pada siaran virtual, Rabu (7/4/2021).

Kemudian pada konvensi anti korupsi tersebut, terdapat tiga tujuan pertama, memberantas korupsi secara efisien dan efektif, kedua pengembalian aset, dan ketiga kerjasama internasional.

“Dalam konteks pengembalian aset inilah yang merupakan tujuan kedua dari konvensi PBB mengenai anti korupsi. Maka kita akan bertemu dengan persoalan perampasan aset kejahatan atau pengembalian aset kejahatan,” jelasnya.

Adapun, prasyarat dalam konteks pengembalian aset kejahatan terdiri dari empat hal, political will negara, sistem hukum, kerjasama kelembagaan, dan kerjasama internasional.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mekanisme Perampasan Aset

Direktur Hukum PPATK Fithriadi Muslim mengatakan, perampasan aset hakikatnya adalah untuk mempertegas status aset, maka dari itu diperlukannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Untuk dilakukannya perampasan atas aset memiliki rambu-rambu kriteria yang ketat. Perampasan aset dilakukan dalam hal tersangka atau terdakwa meninggal, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya, atau terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Adapun mekanisme perampasan aset dimulai dari penelusuran aset yang dilakukan oleh penyidik. Pemblokiran oleh penyidik. Upaya penyitaan yang dilakukan penyidik, pemberkasan. Serta pemeriksaan berkas oleh Jaksa Pengacara Negara dan juga pengumuman perampasan aset.

“Semua mekanisme masih tetap juga memperhatikan hak-hak atau kewenangan warga ya, tidak serta merta proses keberatan itu masih mungkin dilakukan,” jelas Fithriadi.

Keberatan atas upaya perampasan bisa dilakukan saat tahap pemeriksaan di pengadilan, serta pada tahap awal proses penyidikan berlangsung.

Reporter: Anisa Aulia

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini