Sukses

Bikin Rugi, Pengusaha Ritel Curiga Praktik Predatory Pricing Diatur Kartel Besar

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia merasa curiga pada praktik predatory pricing di platform e-commerce.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menaruh rasa curiga pada praktik predatory pricing di platform e-commerce. Menurutnya, aksi itu sengaja dilakukan oleh sekelompok perusahaan yang membentuk kartel dan coba menguasai harga pasar.

Roy mencontohkan, kelompok ini kerap menyusun strategi menjual suatu produk lebih mahal saat pasokan sepi/tidak ada, sehingga tercipta harga eceran tertinggi (HET). Sementara pedagang lainnya terpaksa mengikuti harga eceran tertinggi tersebut, dan jadi korban.

"Ini lah yang dikatakan mereka-mereka yang sebenarnya yang predatory price ini. Mereka sebenarnya kartel, atau oligopoli yang orangnya itu-itu saja tapi pakai nama perusahaannya seolah-olah berbeda," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (5/3/2021).

"Jadi mereka ini lah yang perlu ditertibkan, karena sangat mengganggu kestabilan harga dan ketersediaan barang," tegas Roy Mandey.

Menurut dia, praktik predatory price ini sangat tidak bagus untuk sektor perdagangan. Sebab harga suatu barang pada waktu tertentu seolah dibuat lebih murah untuk menarik masyarakat berbelanja, namun kemudian akan berubah tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan.

"Ini tentunya yang terdampak adalah produsen-produsen, UMKM, yang menghasilkan produk dengan mempertahankan kestabilan harga," sebut Roy.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Harga Masker

Dia lantas mencontohkan produk masker yang kini laku di pasaran selama pandemi Covid-19. Dalam kondisi ini, kerap dijumpai pedagang yang mensubsidi harga maskernya, sehingga tampak harga barangnya dijual sebagai yang paling murah.

Setelah para konsumen mulai banyak tertarik dan kemudian membeli barangnya, pedagang tersebut nantinya akan menaikan harga. Namun ia tetap menguasai pasar karena minat konsumen sudah mengarah kepadanya.

"Jadi yang sudah awal-awal berjualan dengan menjaga kestabilan harga udah enggak dilihat lagi sama orang. Udah enggak dipesan lagi. Malah predatory price ini yang akan memenangkan pertandingan dengan cara yang tidak etis di dalam perdagangan usaha yang sehat," keluh Roy Mandey.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.