Sukses

Kenalkan Carl Hansen, Profesor Miliarder Kesehatan dengan Kekayaan Rp 42 Triliun

Hansen merupakan seorang profesor perguruan tinggi sampai akhirnya pada 2019 memutuskan fokus pada AbCellera Biologics.

Liputan6.com, Jakarta Beberapa pengusaha di  bidang kesehatan sukses menyandang predikat miliarder pada 2020. Salah satunya Carl Hansen, yang merupakan salah satu pendiri AbCeller Biologics.

AbCellera adalah perusahaan bioteknologi yang berbasis di British Columbia, Vancouver, Kanada. Perusahaan ini meneliti dan mengembangkan antibodi manusia untuk mengatasi pandemi dan penyakit umum.

"Kita dapat membuat 100 triliun antibodi berbeda. Sistem kekebalan sangat luar biasa, tidak terlukiskan," kata Hansen saat menjelaskan mengenai sistem kekebalan tubuh melalui Zoom kepada Forbes.

Hansen merupakan seorang profesor perguruan tinggi sampai akhirnya pada 2019 memutuskan fokus pada AbCellera Biologics. Perusahaan ini didirikannya bersama rekan peneliti dari University of British Columbia pada 2012, dan saat ini memiliki kapitalisasi pasar USD 13 miliar (Rp 182,9 triliun).

"Universitas sangat baik dalam menguji ide-ide dan mencari jalan mana yang mungkin efektif," jelas CEO AbCellera Biologics tersebut, seperti dikutip dari Forbes pada Senin (1/2/2021).

Hansen saat ini mengantongi kekayaan sebesar USD 3 miliar atau berkisar Rp 42,2 triliun (kurs Rp 14.074) berkat Initial Public Offering (IPO) perusahaannya pada Desember 2020.

"Rasanya sedikit tidak percaya ini nyata," kata Hansen ketika ditanya tentang keberhasilannya menjadi miliarder.

Hansen lebih pandai berbicara mengenai kesuksesan bioteknologi. "Jika contoh Covid ini menunjukkan satu hal, bagi saya, ini adalah bukti dari model bisnis dan teknologi," tuturnya.

AbCeller Biologics

Hampir semua startup biotek mengembangkan beberapa target pengobatan, kemudian menghabiskan delapan hingga 12 tahun mengembangkan obat-obatan tersebut dengan harapan dapat membawa setidaknya satu ke pasar.

Ini bukan hal yang pasti dengan kurang dari 10 persen obat baru berhasil. Namun ketika berhasil, maka obat tersebut akan menjadi blockbuster.

Tujuh dari 10 obat terlaris pada 2018 adalah perawatan antibodi termasuk obat imunosupresif Humira dari AbbVie, dan obat kanker Keytruda dari Merck.

AbCellera mengambil pendekatan yang sangat berbeda. Alih-alih mencoba membangun perusahaan obat yang terintegrasi secara vertikal, perusahaan hanya fokus pada proses penemuan.

Ini adalah bagian dari pengembangan obat paling awal dan paling panting. Pada bagian ini prospek pengobatan yang paling menjanjikan dipilih termasuk menjalani pengujian awal.

AbCellera tidak tertarik untuk melihatnya dari awal hingga akhir. Perusahaan hanya menawarkan apa yang digambarkan sebagai "penemuan obat sebagai layanan".

AbCellera bekerja sama dengan 90 mitra, termasuk raksasa farmasi Pfizer, Gilead, dan Novartis. Perusahaan-perusahaan tersebut meminta bioteknologi menemukan antibodi yang memenuhi kriteria tertentu. AbCellera kemudian menggunakan teknologi miliknya untuk menemukan prospek.

 

Saksikan Video Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kontrak

Kesuksesan paling terkenal AbCellera hingga saat ini adalah memeriksa ribuan antibodi yang berasal dari darah orang-orang yang telah pulih dari Covid-19. Hal ini untuk mengidentifikasi antibodi terbaik untuk melawan virus tersebut.

Kemudian, AbCellera menyerahkan antibodi paling menjanjikan kepada perusahaan obat, Eli Lilly. Uji klinis salah satu antibodi tersebut, bamlanivimab, dimulai pada Mei, hanya 90 hari setelah kerja sama dimulai.

Pengujian menemukan pasien dengan kasus ringan dan sedang memiliki hasil yang baik, dan antibodi tersebut menerima otorisasi penggunaan darurat pada November 2020 dari Food and Drug Administration AS (FDA).

Pemerintah AS telah memiliki kontrak untuk membeli 950 ribu dosis obat tersebut seharga USD 1,2 miliar. Eli Lilly mengeluarkan guidance pada pertengahan Desember 2020 dengan ekspektasi pendapatan hingga USD 2 miliar dari terapi Covid-19 pada 2021. Sebagian besar pendapatan itu berasal dari bamlanivimab.

Menurut Credit Suisse, AbCellera yang membukukan USD 25 juta hingga akhir September 2020, diperkirakan akan memperoleh royalti sebesar USD 270 juta dari penjualan tersebut.

AbCellera juga ingin mempercepat waktu pengembangan terapi antibodi. Kerangka waktu paling pendek menghemat jutaan biaya pengembangaan, dan memungkinkan pendapatan datang lebih cepat daripada perkiraan.

"Dari perspektif finansial, setiap tahun yang dihemat adalah peluang besar biaya untuk para investor," kata analis Berenberg Capital Markets, Gal Munda.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.