Sukses

Utang Pemerintah hingga Akhir Desember 2020 Capai Rp 6.074,56 Triliun

komposisi utang pemerintah pusat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Liputan6.com, Jakarta Posisi utang Pemerintah per akhir Desember 2020 berada di angka Rp 6.074,56 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 38,68 persen. Komposisi utang pemerintah pusat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Dikutip dari data APBN KITA Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Sabtu (16/1/2021), secara nominal, utang pemerintah mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama di tahun lalu. Hal ini disebabkan pelemahan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.

komposisi utang pemerintah pusat ini didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Tercatat sampai akhir Desember 2020 utang dalam bentuk SBN mencapai Rp 5.221,65 triliun atau 85,96 persen dari posisi utang.

Adapun rinciannya terdiri dari pasar domestik dan valas. Dari pasar domestik terkumpul Rp 4.025,62 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negara sebanyak Rp 3.303,78 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 721,84 triliun.

Sedangkan dari valas totalnya Rp 1.196,03 triliun. Terdiri dari Surat Utang Negara Rp 946,37 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 249,66 triliun.

Sementara itu, sisa utang pemerintah berasal dari pinjaman sebesar Rp 852,91 triliun atau 14,04 persen. Terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 11,97 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 840,94 triliun.

Lebih rinci, komponen pinjaman luar negeri terdiri dari bilateral, multilateral dan bank komersial. Antara lain pinjaman bilateral sebanyak Rp 333,76 triliun, pinjaman multilateral Rp 464,21 triliun dan pinjaman bank komersial Rp 42,97 triliun.

Dari sisi mata uang, utang pemerintah ini didominasi dengan mata uang rupiah. Besarnya 66,47 persen dari total komposisi utang pada akhir Desember 2020.

Dominasi mata uang ini seiring dengan kebijakan pengelolaan utang yang memprioritaskan sumber domestik dan penggunaan valas sebagai pelengkap untuk mendukung pengelolaan risiko utang valas.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pembelaan Kemenkeu Soal Utang yang Terus Membengkak

Sebelumnya, Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik utang Indonesia yang terus membengkak selama pandemi Covid-19. Utang tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat apabila 40 persen lebih belanja negara harus untuk membayar cicilan.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, utang saat pandemi tidak boleh dibandingkan dengan sebelum pandemi. Sebab kondisi saat pandemi dan sebelumnya sangat jauh berbeda, salah satunya dari sisi penerimaan pajak.

"Kita mendapat kritik seolah olah kita ini bisanya utang, utangnya bertumpuk, nominalnya bertambah sangat besar tapi lupa kuenya juga membesar. Sehingga kita yakin kita mampu membayar itu terutama dengan yield yang semakin kompetitif," ujar Yustinus melalui diskusi daring, Jakarta, Jumat (15/1/2021).

"Apalagi selama pandemi tak bisa dibandingkan peningkatan utang 2020 karena apa karena tadi penerimaan pajak menurun kebutuhannya meningkat otomatis mengandalkan utang," sambungnya.

Meskipun terjadi penarikan utang di 2020 yang cukup besar, rasio utang terhadap PDB masih cukup terjaga bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga termasuk negara maju. Di antaranya adalah Malaysia, Thailand dan Vietnam.

"Thailand 50 persen, Vietnam 46 persen. Malaysia 47 persen. Negara maju di atas 100 persen seperti AS, Prancis itu 130 persen. Kita bersyukur dengan stimulus moderat, kita bisa mencapai pertumbuhan defisit rasio utang yang lebih dibanding banyak negara lain," jelasnya.

Untuk Indonesia sendiri, kata Yustinus, rasio utang terhadap PDB diperkirakan sekitar 38,5 persen. Masih terjaga jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi Virus Corona sebesar 30 persen.

"Rasio utang Indonesia terhadap PDB. Saya hitung dari 2008 sampai 2019 konsisten dibawah 30 persen. Tapi karena Covid kita proyeksikan 38,5 persen itu masih lebih baik dibanding negara lain," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.