Sukses

Restrukturisasi Kredit Industri Jasa Keuangan Capai Rp 971 Triliun di 2020

Industri jasa keuangan telah melakukan restrukturisasi kredit mencapai Rp 971 triliun sepanjang 2020.

Liputan6.com, Jakarta - Industri jasa keuangan telah melakukan restrukturisasi kredit mencapai Rp 971 triliun sepanjang 2020. Jumlah keringanan kredit tersebut dinikmati oleh 7,6 juta debitur.

"Hingga akhir Desember, restrukturisasi telah mencapai Rp 971 triliun atau 18 persen dari total kredit dari sekitar 7,6 juta debitur UKM dan korporasi," kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2021 di Jakarta, Jumat, (15/1.2021).

Kebijakan ini menghasilkan profil risiko perbankan yang terkendali. Rasio NPL gross pada level 3,06 persen dari tahun 2019 sebesar 2,53 persen atau net 0,98 persen.

Hal ini didukung juga dengan permodalan yang cukup tinggi, yaitu CAR sebesar 23,78 persen (pada tahun 2019 sebesar 23,31 persen).

Selain itu, OJK juga memberikan kebijakan stimulus di sektor UMKM. Berbagai kebijakan stimulus tersebut berdampak pada stabilnya pertumbuhan kredit UMKM .

Penempatan dana pemerintah di perbankan sebesar Rp 66,7 triliun telah disalurkan sebesar Rp 323,8 triliun. Artinya, kebijakan tersebut telah memberikan leverage sebesar 4,8 kali.

"Pertumbuhan kredit UMKM dan mulai tumbuh positif secara month to month pada beberapa bulan terakhir," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Konsumsi dan Daya Beli Masyarakat Kunci Pertumbuhan Kredit Perbankan

Sebelumnya, Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA) yang terdiri dari BRI, Bank Mandiri, BNI dan BTN memandang penurunan suku bunga bukan merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan kredit.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua HIMBARA yang juga merupakan Direktur Utama BRI Sunarso pada acara Ngobrol Bareng Pemred dan HIMBARA di Jakarta, Rabu 6 Januari 2020.

Sunarso mengungkapkan bahwa permintaan kredit dapat terkerek apabila konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat meningkat.

“Dengan menggunakan analisa model ekonometrika secara umum, terbukti bahwa pertumbuhan kredit dipengaruhi secara signifikan oleh variabel konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. Oleh karenanya sudah sangat tepat dalam kondisi pandemi ini pemerintah mengeluarkan berbagai stimulus langsung kepada masyarakat,” ujarnya.

Ia juga memaparkan bahwa penurunan suku bunga acuan BI telah diikuti penurunan suku bunga pinjaman, namun penurunan suku bunga pinjaman tidak diikuti kenaikan pertumbuhan pinjaman.

“Kita mesti bijaksana untuk melihat cara meningkatkan pertumbuhan kredit, karena turunnya suku bunga tidak tidak selalu bisa mengatrol pertumbuhan kredit,” imbuh Sunarso.

“Trend penurunan pertumbuhan pinjaman, termasuk Bank Himbara, sejak 2012 terjadi pada saat suku bunga perbankan cenderung turun. Penurunan suku bunga KUR juga tidak mendorong peningkatan agregat pinjaman perbankan, pada tahun 2015 dan 2016 pada saat suku bunga KUR menurun signifikan, loan growth justru menurun sampai di bawah 10 persen. Jadi kunci demand kredit ada di konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat,” papar Sunarso.

Pada kesempatan yang sama Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi menyebut biaya dana (Cost of Fund-CoF) HIMBARA saat ini belum bisa rendah karena portofolio pendanaan bank-bank milik negara masih memiliki porsi dana mahal yang relatif besar.

Ke depannya, perlu ada diversifikasi jenis pendanaan yang dilakukan HIMBARA, khususnya jenis simpanan dana murah untuk menekan tingkat biaya dana.

“Kalau dilihat, rasio CASA (dana murah) di salah satu bank swasta nasional sudah di atas 70 persen, sementara di kami mungkin kisaran 65 persen sampai mendekati 70 persen. Kedepan, kita harus melihat bagaimana HIMBARA menumbuhkan CASA rasionya,” ujar Darmawan.

Berkaca dengan kondisi yang ada, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar memprediksi pertumbuhan kredit industri perbankan di Indonesia dalam kurun 6 bulan ke depan kemungkinan akan ada di kisaran maksimal 5 persen.

“Saya yakin perbankan sekarang melihatnya lebih banyak ke (proyeksi) jangka pendek, belum melihat setahun penuh. Dalam 6 bulan ke depan saya yakin ini (pertumbuhan kredit) semua rata-rata tertinggi 5 persen. Industri saat ini dalam proses recovery, sehingga masih membutuhkan waktu. Nanti kalau ekonomi membaik dan daya beli menengah atas pulih pasti kami akan genjot (untuk mencapai pertumbuhan) double digit. Namun sekarang semua pasti akan lihat lebih pendek, periode 3-6 bulan,” ujar Royke.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.