Sukses

Lonjakan Utang dan Ketimpangan Menghantui Ekonomi Dunia Usai Covid-19 Hengkang

Perekonomian dunia dikatakan akan terbebani utang yang jauh lebih besar

Liputan6.com, Jakarta Ekonomi dunia porak poranda imbas keberadaan pandemi Covid-19. Ternyata, meski pandemi sudah hengkang, ada  hal lagi yang masih akan menghantui ekonomi global, yakni utang dan ketimpangan antara warga miskin dan kaya.

Perekonomian dunia dikatakan akan terbebani utang yang jauh lebih besar dan meningkatnya ketimpangan yang dapat membuat pertumbuhan ekonomi menjadi pincang dalam jangka panjang.

Itulah salah satu hal yang beredar pada pertemuan tahunan American Economic Association, seperti melansir Bloomberg, Rabu (6/1/2021).

Para ekonom top di konferensi virtual yang digelar selama 3 hari itu terfokus pada ketidakadilan mencolok yang terlihat kala pandemi. Serta dampak dari upaya untuk mengatasi dan memerangi Covid-19.

Meski demikian, pertumbuhan global secara luas diperkirakan akan tetap menguat. Ini seiring langkah banyak negara melakukan vaksinasi.

"Kita menghadapi setiap krisis di masa lalu dengan langkah bank sentral yang lebih agresif dan lebih maksimal, baik publik maupun swasta," kata mantan Gubernur Bank Sentral India Raghuram Rajan.

Dia menyebutkan jika nilai utang global naik lebih dari USD 15 triliun tahun lalu menuju rekor USD 277 triliun, setara dengan 365 persen output dunia, menurut Institute of International Finance.

Lonjakan utang itu berasal dari semua sektor. Mulai dari rumah tangga, obligasi pemerintah hingga perusahaan. Ini berdasarkan data dari IIF yang berbasis di Washington, yang terdiri dari lembaga keuangan terkemuka dunia.

Selain utang, ketimpangan antara si kaya dan miskin diprediksi juga meningkat di seluruh negara. Di mana, pandemi Covid-19 menyerang penduduk miskin paling parah.

Sebagai contoh Di AS, orang kulit hitam dan Hispanik secara proporsional menderita lebih banyak kematian daripada orang kulit putih. Sementara pekerja berupah rendah di industri seperti rekreasi dan perhotelan telah menanggung beban paling berat dari pemecatan karena mereka yang lebih kaya terus bekerja dari rumah.

“Pandemi telah mengungkap kedalaman ketidaksetaraan dan dalam banyak hal telah memperburuk ketimpangan tersebut,” kata Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Hadiah Nobel.

Sementara negara-negara kaya seperti AS berupaya meredam pukulan pandemi kepada warganya dengan memberi bantuan dalam jumlah besar. Sementara negara-negara yang lebih miskin tidak dapat melakukan hal serupa.

Stiglitz, seorang profesor Universitas Columbia, mengatakan 46 negara paling tidak berkembang di dunia menyumbang hanya 0,002 persen dari USD 12,7 triliun pengeluaran stimulus publik yang ditetapkan dalam perang melawan virus.

"Dalam banyak hal, kita dapat melihat setelah pandemi, ini menjadi dekade kemajuan yang tidak terbendung dalam mengurangi ketidaksetaraan global, tentu saja bagi negara-negara termiskin," kata profesor Universitas Harvard dan mantan kepala ekonom Dana Moneter Internasional Kenneth Rogoff.

 

 

 

Saksikan Video Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Semua Berita Buruk

Meski demikian, tidak semua yang keluar dari jerat pandemi akan menjadi berita buruk. Kecepatan pengembangan vaksin dan pertumbuhan pesat telemedicine adalah perkembangan yang patut dirayakan.

Ekonom Nicholas Bloom dari Universitas Stanford juga menunjuk pada potensi peningkatan produktivitas yang dapat diperoleh dari lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja di rumah - sebuah tren yang dia perkirakan akan bertahan pasca pandemi.

Beban utang

Bahkan sebelum pandemi, AS, China, dan banyak negara lain telah mengalami peningkatan ketimpangan dan utang. Ketika krisis virus Corona Covid-19 mereda, kedua hal itu yang ternyata kemudian juga menjadi masalah bagi ekonomi global.

"Covid-19 telah memperburuk ketimpangan yang juga meningkatkan masalah kerapuhan keuangan," kata kepala ekonom Bank Dunia Carmen Reinhart.

Banyak rumah tangga berpenghasilan rendah di AS, misalnya, memiliki banyak utang dan terjepit dalam kubangan utang tersebut.

Bagi beberapa negara berkembang dan miskin masalah bahkan lebih besar. Stiglitz melihat  ini risiko krisis utang dengan konsekuensi global.

“Banyak negara yang terlilit utang sebelum pandemi dan hal yang mencolok, berarti mereka akan mengalami kesulitan untuk membayar utang,” katanya.

AS dan negara-negara kaya dikatakan juha tidak akan kebal dari lonjakan utang usai krisis virus corona berlalu, menurut mantan kepala ekonom Gedung Putih Christina Romer.

Defisit anggaran AS akan mencapai USD 2,3 triliun pada tahun fiskal yang berakhir pada 30 September.  Angka ini setara dengan lebih dari 10 persen dari produk domestik bruto - menyusul kekurangan USD 3,1 triliun pada tahun fiskal 2020, menurut Komite Anggaran Federal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.