Sukses

Wajah Industri Keuangan Indonesia Diprediksi Berubah 5 Tahun ke Depan

Pada 2024 diharapkan inklusi keuangam di Tanah Air telah mencapai 90 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, dalam 5 tahun ke depan wajah industri keuangan Indonesia akan berubah drastis. Hal ini dipicu karena dari target inklusi keuangan di 2024 harus mencapai 90 persen dari yang saat ini berada di angka 76,19 persen.

"Dalam 5 tahun ke depan landscape dari jasa keuangan kita akan berubah drastis," kata Rudiantara dalam Press Briefing Indonesia Fintech Society (IFSoc): Outlook Fintech 2021, Jakarta, Selasa (29/12/2020).

Rudiantara menjelaskan, pada 2024 diharapkan inklusi keuangam di Tanah Air telah mencapai 90 persen. Artinya, 90 persen orang dewasa yang ada di Indonesia telah terhubung dengan sistem keuangan baik itu untuk tabungan, invetasi, pembiayaan dan sebagainya.

Demi mencapai tujuan tersebut, Rudiantara menilai perlu ada langkah bersama yang dilakukan. Semua pihak harus ikut berkontribusi. Tak terkecuali para regulator.

Para regulator disarankan untuk tidak hanya membuat regulasi dan melakukan pengawasan. Sebaliknya, harus ikut serta dalam mencapai tujuan dan memainkan perannya sebagai fasilitator.

"Tidak bisa regulator yang hanya meregulasi saja, tapi harus menfasilitasi agar tujuanya tercapai," kata dia.

Termasuk terlibat dalam akselerasi inklusi keuangan. Mulai dari literasi, pendidikan, edukasi pelanggan sampai dengan perlindungan konsumen. Sebab wajah baru industri jasa keuangan bakal berubah dengan cepat dan drastis.

"Siap-siap kita akan memasuki landscape yang bukan berubah cepat, tapi berubah drastis," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Industri Keuangan Diminta Mitigasi Risiko di Era Digital

Sebelumnya, Pandemi Covid-19 diyakini telah mempercepat era digitalisasi di Indonesia, hal ini tentu membuka peluang bagi industri keuangan Tanah Air. Maka dari itu, inovasi-inovasi keuangan digital perlu ruang untuk tumbuh dan berkembang.

Dalam hal ini, OJK telah menerapkan kerangka aturan yang seimbang atau balance regulatory framework untuk mendorong digitalisasi di sektor jasa keuangan yang kini semakin marak.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan, di tengah perkembangan digitalisasi yang cukup pesat, OJK terus mengingatkan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk memitigasi 2 hal penting yakni mitigasi risiko serta pengembangan inovasi. Dalam poin pertama, LJK harus memitigasi risiko yang akan dihadapi, ditengah perkembangan digital yang pesat. OJK juga perlu menjaga keamanan atau perlindungan terhadap nasabah/konsumen.

“Kita juga telah membuat balance regulatory framework dengan 2 poin yang harus diperhatikan yakni mitigasi risiko dan inovasi,” ujar Nurhaida dalam diskusi yang digelar The Finance dengan tema 'How Can Digitalization Help Financial Sector Coping With Crisis & Covid-19 Impact' di Jakarta, Kamis (10/12/2020).

Menurutnya, sejalan dengan era digitalisasi, industri keuangan harus memitigasi maraknya cyber risk, kejahatan cyber serta keamanan data nasabah.

OJK sendiri, tambah Nurhaida sangat menjunjung tinggi upaya perlindungan konsumen dengan peraturan yang ada. Selain itu, industri keuangan juga harus terus mengembangkan inovasi agar tercipta sinergi dalam mendorong ekonomi. Kolaborasi dan sinergi merupakan kunci di tengah perkembangan teknologi.

Di diskusi yang sama, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengingatkan pentingnya digitalisasi serta virtualisasi dalam menggenjot bisnis perbankan terutama dalam penyaluran kredit di tengah pandemi Covid-19. Dirinya tak memungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah membuat sektor penyaluran kredit lesu, namun dengan adanya digitalisasi penyaluran kredit bisa akan terdorong.

“Ke depan yang kita hadapi persiapan digitalisasi dimana virtualisaai platfrom harus kira kembangkan. Tanpa itu kita akan kehilangan real offline market karena transisi transisi dari pasar, mall, restoran relatif belum ramai meski kini sudah agak rame namun masih 50 persen hingga 60 persen dari normal,” kata Jahja

Di era new normal saat ini, lanjut Jahja, ada dua market yang harus dioptimalkan yakni generasi milenial dan senior milenial. Generasi milenial adalah mereka yang menyukai perkembangan transaksi digital dan senior milenial adalah mereka yang kurang senang dengan adanya perubahan. Maka dari itu, dirinya memandang, bahwa edukasi menjadi penting dilakukan kepada masyarakat di tengah upaya pengembangan digitalisasi sekarang ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.