Sukses

Potensi Lobster Indonesia Bisa Cerah Asalkan Praktik Monopoli Hilang

Peluang pembudidayaan lobster di Indonesia akan lebih baik.

Liputan6.com, Jakarta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut peluang pembudidayaan lobster di Indonesia akan lebih baik, pasca ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo terkait korupsi ekspor benih lobster.

“Peluang lobster sangat cerah, ini terbukti bahwa KKP mempunyai program bantuan jaring apung dan perlengkapan lainnya untuk memproduksi lobster dalam jumlah banyak pada 2024, KKP sendiri sudah melihat itu, saya pikir nelayan juga akan menikmati,” kata Staf Ahli Peneliti BBIL LIPI Sigit Anggoro Putro Dwiono, dalam diskusi LIPI Sapa Media #6 Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial, Senin (30/11/2020).  

Namun menurut Sigit yang menjadi masalahnya adalah apakah program tersebut bisa dilaksanakan secara bersamaan saat panen lobster. Yang mana nantinya jumlah lobster akan banyak, maka dari itu KKP harus bisa mengatur harga dan pendistribusiannya.

“Karena di dalam negeri sendiri dengan harga jual Rp 200 ribu per kg mungkin tidak banyak yang mampu, daging sapi Rp 100 ribu saja sudah berat apalagi lobster, oleh karena itu dipilih untuk di ekspor,” ujarnya.

Sigit menegaskan kembali, peluang dan potensi lobster di Indonesia akan membaik dan mengalami perkembangan, namun itu semua tergantung dalam persiapan KKP dalam mempersiapkan panen yang besar nanti.

“Peluangnya cerah tapi ada PR yang harus dilaksanakan oleh KKP,” ujarnya.

Senada dengan Sigit, Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik LIPI Anta Maulana Nasution mengatakan potensi lobster di Indonesia akan membaik asalkan pemerintah bisa menghilangkan segala praktik monopoli dalam ekspor benih lobster.

“Saya setuju, tapi hilangkan monopoli harga, kargo, pengepul, pokoknya hilangkan dahulu semua monopoli dan oligarki, ini penyakit utamanya adalah monopoli, nelayan hanya dapat uang Rp 5 ribu, sedangkan ekspor dapat untung hingga ratusan ribu, ini kan monopoli,” kata Anta.

Menurut Anta jika monopoli dihilangkan maka nelayan lobster akan sejahtera, selain itu Pemerintah perlu untuk mengkaji ulang pasal-pasal yang tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 2020, khususnya pasal 5 terkait ekspor.

“Saya sangat mendorong revisi permen KKP Nomor 12 tahun 2020, mendorong untuk dievaluasi dan dikaji ulang bukan hanya di stop ekspor benur tapi benar-benar dievaluasi secara keseluruhan, intinya kalau ingin mensejahterakan nelayan buatlah kebijakan yang mensejahterakan nelayan,” pungkas Anta.   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penangkapan Edhy Prabowo jadi Momentum Kaji Ulang Ekspor Benih Lobster

Beberapa waktu lalu Indonesia dikejutkan dengan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo pada Rabu (25/11/2020) ditangkap pukul 01.23 WIB, dini hari, di Bandara Soekarno-Hatta oleh KPK terkait dengan kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster atau benur.

Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik LIPI Anta Maulana Nasution mengatakan momentum penangkapan Menteri KKP harus menjadi pendorong bagi KKP untuk mengambil langkah selanjutnya dalam menyikapi kebijakan ekspor benur.

"KKP dapat memulai langkahnya dengan mengkaji ulang dari awal apakah sebenarnya kebijakan ekspor benur merupakan solusi yang tepat dari permasalahan yang dihadapi nelayan. Atau jangan-jangan kebijakan ini hanya sekedar memfasilitasi 'para aktor jahat' pemain ekspor benur”,” kata Anta dalam diskusi LIPI Sapa Media #6, Senin (30/11/2020).

Kemudian Anta menyarankan pentingnya melakukan analisis aktor-aktor yang berkepentingan, sebelum menerapkan Kembali kebijakan ekspor benih lobster sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya monopoli.

“KKP harus bisa berperan bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga harus menjadi aktor penengah yang memastikan bahwa kebijakan tersebut memberikan dampak yang seimbang bagi semua aktor,” jelas Anta.

Lanjutnya, kebijakan mengizinkan ekspor benur dalam pendekatan ekologi politik, tidak bisa dilihat hanya sebagai langkah Pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nelayan.

Tapi juga harus dilihat sebagai upaya dari aktor-aktor selain nelayan yang memiliki kepentingan secara ekonomi, maupun politik untuk menguasai atau memonopoli bisnis ekspor benur dengan mengandalkan relasi kuasa politik.

“Ekologi politik melihat sebuah fenomena perubahan sumberdaya dari proses politik yang terjadi di belakangnya,” ujarnya.

Menurutnya fenomena kebijakan ekspor benih lobster menunjukan adanya indikasi oligarki yang kemungkinan selama masa Pemerintahan sebelumnya berusaha untuk ‘ditenggelamkan’ melalui pelarangan ekspor Benur dan mencoba bangkit kembali pada saat ini.

“Setidaknya ada tiga aktor yang berkepentingan dalam kebijakan ekspor benur, yaitu pemerintah, swasta, dan nelayan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020, khususnya pasal 5 terkait eksportir, dan Potensi relasi kuasa,” sebutnya.

Demikian ia menegaskan perlunya mengkaji ulang aktor-aktor yang berkepentingan agar kedepannya pengelolaan budidaya lobster bisa berjalan dengan baik.    

3 dari 3 halaman

Infografis Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.