Sukses

Penelitian Obat Butuh Waktu Puluhan Tahun, Bagaimana dengan Vaksin Covid-19?

Ada beberapa lembaga riset dan universitas yang mengembangkan vaksin covid-19 dengan realisasi paling cepat pada pertengahan 2021.

Liputan6.com, Jakarta - Melihat covid-19 yang masih merebak, keberadaan obat atau vaksin covid-19 tengah diusahakan banyak pihak. Baik dari dalam negeri lewat lembaga riset dan perguruan tinggi, maupun impor. Pasalnya untuk menghasilkan vaksin perlu riset dalam waktu cukup lama.

"Biasanya penelitian untuk obat secara umum perlu riset sepuluh sampai dua puluh tahun. Sedangkan kita tidak bisa menunggu selama itu untuk vaksin Covid-19,” Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Nurma Hidayati dalam webinar Markplus The 2nd Series Industry Roundtable (Episode 18), Selasa (17/11/2020).

Untuk itu, Nurma menerangkan bahwa yang dilakukan oleh para peneliti dan produsen saat ini adalah bagaimana mempercepat proses produksi vaksin. Salah satunya adalah dengan uji klinis yang dilakukan pada hewan dan manusia.

Dalam waktu dua sampai lima tahun, keberadaan vaksin tersebut akan terus diteliti agar pengembangan vaksin semakin sempurna.

"Kuncinya percepatan proses. Ketika disuntikan muncul kekebalan, silahkan dilanjutkan sembari perkembangannya diamati. Itu yang dilakukan oleh banyak pihak sekarang ini," sambungnya.

Setidaknya ada beberapa lembaga riset dan universitas yang mengembangkan vaksin covid-19, dengan realisasi paling cepat pada pertengahan 2021.

Namun sampai waktu tersebut, vaksin impor yang sudah hampir siap didistribusikan dalam waktu dekat jadi solusi jangka pendek. Selain itu, produk impor juga ditujukan untuk pengembangan vaksin yang diproduksi dalam negeri.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Vaksin Covid-19 Belum Beredar, Obat Penjaga Imun Jadi Incaran

Saat ini, keberadaan obat dan vaksin Covid-19 tengah ditunggu-tunggu seiring dengan ketidakpastian kapan pandemi berakhir. Sementara, dalam prosesnya, produksi vaksin membutuhkan waktu yang cukup lama. Mulai dari riset, pengujian, hingga akhirnya dipasarkan secara meluas kepada masyarakat.

"Biasanya penelitian untuk obat secara umum perlu riset sepuluh sampai dua puluh tahun. Sedangkan kita tidak bisa menunggu selama itu untuk vaksin COVID-19,” ungkap Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Nurma Hidayati dalam webinar Markplus The 2nd Series Industry Roundtable (Episode 18), Selasa (17/11/2020).

Untuk itu, Nurma menerangkan bahwa yang dilakukan oleh para peneliti dan produsen saat ini adalah bagaimana mempercepat proses produksi vaksin. Salah satunya adalah dengan uji klinis yang dilakukan pada hewan dan manusia.

Ketika uji klinis kepada hewan berhasil, bisa dilanjutkan kepada manusia. Keberhasilan yang dilihat adalah apakah vaksin tersebut aman, atau dalam artian menimbulkan kekebalan dalam tubuh atau tidak.

Nurma mengatakan setidaknya kekebalan tersebut ada selama tiga bulan, itu sudah cukup. Dan dalam waktu dua sampai lima tahun, keberadaan vaksin tersebut akan terus diteliti agar pengembangan vaksin semakin sempurna.

"Kuncinya percepatan proses. Ketika disuntikkan muncul kekebalan, silakan dilanjutkan sembari perkembangannya diamati. Itu yang dilakukan oleh banyak pihak sekarang ini," katanya.

Sembari menunggu keberadaan vaksin-vaksin yang sedang dalam tahap uji klinis, masyarakat mengalihkan perhatiannya kepada obat-obatan herbal penjaga imunitas.

CEO Kalbe Farma Vidjongtius mengatakan, perusahaan kini sudah memiliki belasan produk herbal di mana di masa depan akan terus bertambah sesuai permintaan konsumen.

"Masyarakat juga semakin sadar akan standardisasi uji klinis. Makanya kami juga terus kembangkan produk herbal dengan standar tersebut. Potensinya di masa depan sangat besar," ungkapnya.

Sementara, dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Bidang Humas DPP GP Jamu Edward Basilianus mengatakan, industri obat herbal diharapkan bisa tumbuh sampai tujuh persen. Data Kementerian Perindustrian juga menunjukan potensi nilai penjualan jamu di pasar domestik sekitar Rp 20 triliun dengan ekspor senilai Rp 16 triliun.

Edward menambahkan, Indonesia memiliki sumber daya untuk produksi obat-obat herbal dari dalam negeri yang melimpah. Meski begitu, masih banyak produk herbal yang mengandalkan bahan baku impor.

"Ini yang harus kita tekankan. Bahan baku dalam negeri juga bisa menekan harga produk herbal lebih terjangkau," kata Edward. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.