Sukses

BI: Orang Lebih Banyak Bayar Pakai Uang Elektronik Fintech daripada Bank

Bank Indonesia (BI) mengatakan, mulai terjadinya pergeseran sistem pembayaran ritel dari dominasi perbankan ke fintech.

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Sugeng mengatakan, mulai terjadinya pergeseran sistem pembayaran ritel dari dominasi perbankan ke fintech. Menyusul adanya inovasi teknologi melalui pembayaran digital oleh fintech yang kian memudahkan pengguna.

"Survei kita tahun 2015 bank masih mendominasi. Tetapi akhir 2019 peranan Non Bank atau fintech sudah muncul, jadi perkembangannya luar biasa ini," kata dia dalam acara peluncuran "Indonesia Fintech Society (IFSoc)", Senin (9/11/2020).

Sugeng mengatakan, hal itu tercermin dari besarnya presentase pembayaran dengan uang elektronik fintech di Indonesia. Rinciannnya, OVO sebesar 20 persen, Bank Mandiri sebesar 19 persen, Gopay sebesar 19 persen, Dana sebesar 10 persen, dan BCA sebesar 10 persen.

Lalu, BRI sebanyak 6,3 persen, LinkAja sebanyak 5,8 persen, Shopee sebanyak 3,7 persen, BNI sebanyak 1,3 persen, hingga Doku sebanyak 1,2 persen.

Sedangkan, jika digabung penggunaan uang elektronik, kartu kredit dan debit, BCA sebagai pangsa pasar sistem pembayaran dalam negeri sebesar 23 persen, Bank Mandiri dan BRI masing-masing 16 persen, OVO 9 persen, dan Gopay 8,4 persen.

"Sisanya, BNI 8 sebesar persen, Dana sebesar 4,6 persen, LinkAja sebesar 2,5 persen, Shopee sebesar 1,6 persen dan CIMB Niaga sebesar 0,9 persen," imbuh dia.

Meski demikian, tren ini berisiko menimbulkan shadow banking atau terjadinya pergeseran penggunakan sistem pembayaran dari perbankan ke fintech.

Mengingat shadow banking cenderung menguat menyusul model bisnis fintech yang mereplikasi layanan keuangan tradisional dan mengarah pada bigtech.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bank Harus Inovasi

Oleh karena itu, perbankan diminta untuk terus berinovasi dan mengembangkan layanan digitalisasi di era kebiasaan ini. Sebagaimana yang dilakukan oleh China ketika dihantam persoalan shadow banking.

"Kita harus belajar dari china yang ada shadow banking, kalau ini tumbuh besar akan berbahaya. Jadi transformasi digitalisasi oleh bank harus dilakukan," tutupnya.

Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.