Sukses

Perang Dagang AS-China Terhenti Usai Joe Biden Jadi Presiden?, Begini Prediksinya

Secara keseluruhan, Pemerintahan Donald Trump ingin memungut tarif besar-besaran terhadap produk-produk Cina, yang menjadi pemicu perang dagang.

Liputan6.com, Jakarta Tensi perang dagang antara Amerika Serikat dengan China dinilai akan lebih mudah diprediksi dan tidak seburuk sebelumnya, usai kemenangan Joe Biden sebagai Presiden dalam  Pemilihan Presiden (Pilpres AS) 2020. Kendati demikian, perang dagang kedua negara masih akan berlanjut.

Setelah bertahun-tahun AS mengeluh akan ketidakadilan praktik bisnis oleh China, di mana Presiden Donald Trump meningkatkan tekanan kepada Beijing. Kritikan dan kebijakan Trump kerap disampaikan pertama kali dari postingan twitter miliknya.

Secara keseluruhan, Pemerintahan Trump ingin memungut tarif besar-besaran terhadap produk-produk China, yang menjadi bentuk perang dagang. Selain itu kebijakannya, ikut melukai pebisnis Tirai Bambu, seperti sanksi terhadap perusahaan telekomunikasi raksasa China, Huawei.

"Isu yang terus terjadi dalam hubungan komersil antara China dan AS tidak akan berubah, walaupun dengan adanya perubahan kepemimpinan,"ujar Greg Gilligan, Kepala American Chamber of Commerce basis Beijing, China, seperti melansir CNBC, Rabu (11/11/2020).

"Terdapat sebuah tekanan dari kedua pihak untuk tetap bersikap hawkish, sederhananya karena politik domestik tidak akan mengizinkan untuk imbal hasil terhadap sikap hawkish pihak lain," ujar Gilligan, mengacu kepada sikap keras dari satu negara ke negara lainnya.

Dua negara dengan skala ekonomi terbesar ini telah menandatangani fase satu perjanjian dagang pada Januari, yang membahas sebuah tensi penangguhan hukum dari dua tahun terakhir.

Tetapi beberapa ahli mengatakan bahwa China saat ini tidak maksimal memenuhi perjanjian dalam membeli produk-produk barang dari AS, sementara negosiasi untuk fase kedua masih belum dimulai.

Saat ini juga masih belum ada kejelasan dari Pemerintahan Biden berkaitan dengan kebijakan tarif, yang diyakini berdampak besar terhadap pebisnis kedua negara, setelah China menerapkan kebijakan sama untuk merespon Amerika.

"Semua pihak saat ini perlu berjaga-jaga," kata Scott Kennedy, Penasihat Senior dan Trustee dari Chinese Business and Economics at the Center for Strategicand international Studies.

"Akan terdapat transisi yang cukup panjang untuk dilewati selama pandemi berlangsung agar semuanya terkontrol," ujar Kennedy.

"Mungkin kita terus melihat gencatan senjata selama perang dagang berlangsung, tapi masih terlalu dini untuk mengetahui apakah rencana pengenaan tarif akan dicabut atau aksi terhadap Huawei dan lainnya akan dilepas," tambah Kennedy.

 

 

Tonton Video Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rivalitas AS-China akan Terus Berlangsung

Beberapa analis mengakui jika Pemerintahan Joe Biden akan bisa bekerja jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Trump, untuk bisa membentuk rencana strategi lebih kohesif terhadap China.

Salah satu keputusan yang saat disetujui Demokrat ataupun Republikan adalah untuk bisa membentuk kebijakan ketat terhadap China.

Di pidato pertamanya sebagai Presiden terpilih, Joe Biden menyatakan bahwa dirinya akan lebih fokus kepada penanganan pandemi Covid-19. Biden pun tidak berbicara tentang isu China.

Joe Biden sendiri memegang keyakinan bahwa, "keamanan ekonomi merupakan keamanan nasional," berdasarkan rencana kebijakan asingnya.

"Amerika Serikat tidak perlu bersikap keras dengan China,"tulis Biden pada awal tahun di bagian "foreign affairs" dengan judul "Why America Must Lead Again:Rescuing U.s Foreign Policy After Trump."

"Jika China mendapatkan apa yang dimau, maka mereka akan terus mengeksploitasi AS dan berbagai perusahaan negaranya dari teknologi dan intellectual property-nya. Mereka juga akan terus menggunakan subsidi yang bisa membuat perusahaan milik negara rugi,"ujar Biden di artikel yang ditulisnya.

Biden juga menambahkan bahwa "Cara yang paling efektif untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan membentuk front persatuan dari negara sekutu untuk melawan sikap kasar China dan isunya terhadap pelanggaran ham, bahkan kami mencari cara untuk bisa bekerja sama dengan Beijing dalam isuperubahan iklim, nonprofilerasi dan keamanan kesehatan Global,".

Kesempatan untuk Kolaborasi

Harapan kembali muncul dari kedua pihak negara pasifik, bahwa kebijakan asing yang lebih mudah diprediksi akan membuka kesempatanterhadap kerjasama bisnis.

"Biden itu orang yang masuk akal, Biden dan Obama memahami dasar dari mempertahankan sebuah dialog," kata Deputi Direktur Komisi kebijakan asing China Association of Policy Science, Xu Hongcai.

Xu mencatat "Akhir dari era Trump yang tidak rasional" dan kebijakannya terhadap tarif, sanksi, dan berbagi taktik keras untuk menyelesaikan permasalahan praktik dagang yang tidak adil.

Sebagai gantinya, China bisa membantu AS dengan pengembangan infrastruktur dan kerjasama dalam perdagangan internasional.

Dia mengklaim bahwa Beijing saat ini sudah bekerja untuk menangani beberapa isu,. Salah satunya dengan mengatur ulang perusahan milik negara, di mana AS selalu menekankan dalam negosiasi perdagangan.

 

"Rapuh" tapi Hubungan Lebih Stabil

Saat berbagai pemimpin negara dari Jerman hingga dan Uni Emirat Arab telah mengucapkan selamatnya kepada Biden yang berhasil menjadi Presiden terpilih, nsampai saat ini, Presiden China, Xi Jinping ternyata belum memberikan ucapan tersebut. Trump sendiri sampai saat ini masih belum menerima kekalahannya. Dirinya bersama dengan tim kampanyenya mengajukan gugatan di beberapa negara bagian untuk mengkritisi hasil pemilu.

Minggu lalu, saat hasil dari pemilu masih belum menentu, Wakil Menteri Luar Negeri China, Le Yucheng mengatakan kepada reporter bahwa dirinya berharap admnistrasipemerintahan AS selanjutnya akan "selaras setengah jalan dengan China," berdasarkan pernyataanya kepada media negara.

"Beijing akan menerima kenyataan dari terbelahnya sistem politik AS, termasuk fakta dari Republikan yang kemungkinan akan terus mengkontrol Senat," ujar Michael Hirsonkepala praktisi, China dan Asia Tenggara di perusahaan konsultan Eurasia Group.

Mereka juga mencatat bahwa terjadinya sumbatan dari kongres akan menggenjot AS untuk meluncurkan kebijakan-kebijakan yang ambisius,terhadap China, sementara "kekacauan" dari pemilu "merupakan propaganda kemenangan dari Partai Komunis China," untuk menyorotiketidak stabilan sistem demokrasi.

"Sebuah persepsi di mana sistem politik AS itu tidak berfungsi dengan baik hanyak akan menjadi alasan bagi Xi Jinping tidak menyelasaikan berbagaiisu isu penting, seperti Hong Kong hingga laut selatan China serta kebijakan teknologi insustri China,"kata Eurasia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.