Sukses

Indef: 1 Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin Wariskan Utang Rp 20,5 Juta ke Tiap Penduduk Indonesia

Ekonom menyoroti beberapa masalah di bidang ekonomi selama 1 tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyoroti beberapa masalah di bidang ekonomi selama 1 tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjabat. Salah satunya terkait nilai utang negara yang terus meninggi dan jadi warisan bangsa.

Mengutip catatan International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia, Bhima memaparkan, Indonesia tercatat menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN), yakni USD 402 miliar.

Beban utang luar negeri tersebut jauh lebih besar dibanding negara berpendapatan menengah lain seperti Argentina, Afrika Selatan hingga Thailand. Bahkan berpotensi semakin membesar di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.

"Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah," ujar Bhima kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).

Pada 2020, pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar USD 4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Artinya, ia menegaskan, pemerintah tengah mewarisi utang pada generasi ke depan.

"Setiap 1 orang penduduk di era Pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp 20,5 juta. Itu diambil dari perhitungan utang pemerintah Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk," tutur dia.

Bhima pun tak menyangkal jika beban utang itu bakal semakin membesar. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi nasional alami penurunan hingga menyentuh level -5,32 persen di kuartal II 2020 akibat terlambatnya penanganan Covid-19 yang dilakukan.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan China yang merupakan negara asal pandemi. Negeri Tirai Bambu mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen di periode yang sama. Sementara Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respon cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China.

Di sisi lain, kesiapan Pemerintaham Jokowi dalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) menghadapi resesi ekonomi relatif kecil, hanya 4,2 persen dari PDB dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang 20,8 persen dan Singapura 13 persen.

"Stimulus kesehatan dalam PEN hanya dialokasikan 12 persen, sementara korporasi mendapatkan 24 persen stimulus. Ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonom," seru Bhima.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

1 Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin, Pembangunan Infrastruktur Sia-Sia

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin akan genap 1 tahun pada 20 Oktober 2020. Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Nusantara giat dikerjakan selama masa 1 tahun Jokowi-Ma'ruf Amin, dengan tujuan untuk mengurangi biaya logistik.

Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira, justru menganggap pembangunan infrastruktur yang jor-joran tersebut sebagai salah satu masalah terbesar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Sebab program itu dinilainya terbilang sia-sia dalam menurunkan ongkos logistik.

"(Salah satu masalah terbesar adalah) biaya logistik yang tak menurun signifikan meskipun bangun infrastruktur di mana-mana (high cost economy)," jelas Bhima kepada Liputan6.com, Senin (19/10/2020).

Menurut catatannya, biaya logistik masih berada di kisaran 23-24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Oleh karenanya, Bhima menyatakan pembangunan infrastruktur belum mampu menurunkan biaya logistik karena banyak infrastruktur yang salah dalam perencanaan.

"Tingginya biaya logistik menyebabkan investasi di Indonesia berbiaya tinggi," sambung dia.

Selain itu, Bhima juga menyoroti rendahnya angka inflasi pada masa 1 tahun Jokowi-Ma'ruf Amin ini akibat tekanan daya beli masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation), hanya 1,86 persen per September 2020.

Inflasi yang rendah tersebut turut berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen.

"Bahkan tidak sedikit yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual. Dalam jangka panjang jika inflasi tetap rendah maka produsen akan alami kerugian, bahkan terancam berhenti beroperasi," cibir Bhima.

Selanjutnya, ia juga mengutip angka pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terus alami kenaikan, dan diperkirakan jumlah karyawan yang di PHK dan dirumahkan mencapai 15 juta orang. Hasil survey ADB (Asian Development Bank) pun menunjukkan UMKM di Indonesia terus lakukan pengurangan karyawan setiap bulannya.

"Situasi di tahun 2020 sangat berbeda dari krisis 1998 dan 2008, dimana PHK di sektor formal dapat ditampung di sektor informal/UMKM. Saat ini 90 persen UMKM membutuhkan bantuan finansial untuk memulai usahanya kembali," terangnya.

Hal tersebut potensi berakibat pada laju kemiskinan yang terus bertambah. Bhima mengatakan, angka kemiskinan diperkirakan mencapai lebih dari 12-15 persen akibat jumlah orang miskin baru yang meningkat saat pandemi Covid-19 di saat peringatan 1 tahun Jokowi-Ma'ruf Amin.  

"Data Bank Dunia mencatat terdapat 115 juta kelas menengah rentan miskin yang dapat turun kelas akibat bencana termasuk pandemi Covid-19," ujar Bhima.

3 dari 3 halaman

Utang Indonesia Terbesar ke-6 di Dunia, Sri Mulyani Pasang Badan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali angkat suara mengenai kenaikan utang Indonesia. Ia menjelaskan, kenaikan utang tersebut merupakan tren yang sedang terjadi secara global di tengah pandemi Covid-19.

"Semua negara terjadi kenaikan," kata Sri Mulyani dalam APBN Kita, Senin (19/10/2020).

Menkeu menjelaskan, sejumlah negara termasuk Indonesia harus melakukan pelebaran defisit anggarannya untuk memitigasi dampak Covid-19. Menurutnya, defisit tidak hanya diperlebar di tahun ini saja tapi masih berlanjut di tahun depan, sehingga berdampak juga pada rasio utang.

Sebagai informasi, pada tahun ini, pemerintah menetapkan defisit anggaran 6,34 persen dan tahun depan 5,7 persen.

“Indonesia dengan defisit yang 6,3 persen, tingkat utang kita di 38,5 proyeksinya untuk tahun ini. Tahun depan defisit anggaran kita di 5,7 persen,” kata Menkeu.

Dengan demikian, maka rasio utang terhadap produk domestik Bruto (PDB) juga meningkat tajam. Jika sebelumnya rasio utang RI selalu di jaga di batas 30 persen, pada tahun ini diramal akan mencapai 38,5 persen. Bahkan, untuk tahun depan rasio utang akan lebih tinggi hingga 41,8 persen.

Sebagai contoh, Menkeu menyebutkan sejumlah negara yang juga melakukan pelebaran defisit. Seperti Amerika Serikat (AS), yang bahkan defisitnya pada kuartal II -18,7 persen dan tahun depan masih -8,7 persen, yang artinya rasio utangnya juga naik melebihi 100 persen yakni 131,2 persen dan di 2021 133,6 persen.

Negara lain yang rasio utangnya juga melebihi 100 persen adalah Jepang yang diproyeksi capai 266,2 persen dari PDB di tahun ini dan naik 28,2 persen menjadi 264 persen di 2021. Selanjutnya Italia rasio utang tahun ini diramal 161,8 persen dan tahun depan jadi 158,3 persen.

Begitu juga dengan Kanada rasio utang tahun ini diproyeksi 114,6 persen dna tahun depan 115 persen, Perancis tahun ini 118,7 persen dan tahun depan 118,6 persen. kemudian Inggris 108 persen menjadi 111,5 persen di tahun depan.

"Jadi kalau kita lihat semua negara terjadi kenaikan sangat tinggi utangnya, bahkan Jerman yang paling hati-hati defisitnya meningkat besar," tegasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.