Sukses

UU Cipta Kerja Dinilai Bantu Penyediaan Rumah Murah bagi MBR

Kehadiran UU Cipta Kerja menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam upaya penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner BP Tapera menyambut baik pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh DPR RI pada 5 Oktober lalu. Menurutnya, kehadiran regulasi anyar itu menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam upaya penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"UU Cipta Kerja ini baik dan ini menunjukkan upaya dalam hal penyediaan rumah bagi MBR," tegas dia dalam diskusi virtual bertajuk Bonus Demografi dan Tantangan Pembiayaan Rumah, Senin (19/10).

Adi mengatakan, bahwa spirit utama UU kontroversial itu menawarkan kemudahan investasi. Sehingga diyakini akan mampu menyeimbangkan investasi di pulau Jawa maupun luar Jawa.

"Karena pada saat nanti investor masuk di Indonesia, tidak hanya berkosentrasi di jawa, tapi di seluruh NKRI. Itu yang diatur dalam UU Cipta Kerja," jelas dia.

Selain itu, UU yang masih menuai penolakan dari berbagai kelompok masyarakat ini juga dinilai baik bagi penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar. Khususnya dalam menghadapi lonjakan angka pengangguran selama pandemi Covid-19 berlangsung.

"Maka disiapkanlah demand terkait penciptaan kerja. Karena kerja juga tidak hanya butuh untuk sandang dan pangan. Tetapi juga papan untuk perumahan," terangnya.

Oleh karena itu, dia menilai implementasi UU Cipta Kerja akan memberikan ruang lebar akan kepemilikan rumah bagi kalangan usia produktif. Khususnya rumah kepemilikan pertama.

" Disitulah, kita melihat potensi BP Tapera untuk investasi dan lapangan kerja. Sehingga BP Tapera hadir untuk kesempatan memiliki rumah pertama," tandasnya

Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyambut baik pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh DPR RI pada tanggal 5 Oktober lalu. Menurutnya implementasi UU anyar ini akan meningkatkan serapan tenaga kerja, termasuk kelompok pengangguran yang terus bertambah di tengah pandemi Covid-19.

Dia menjelaskan, saat ini ada sekitar 7 juta, mulai dari Aceh sampai Papua yang sedang mencari lapangan pekerjaan. Sedangkan angkatan kerja per tahun sekitar 2,9 juta.

Lalu, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 3,5 juta tenaga kerja terkena PHK, di sisi lain KADIN mencatat sekitar 5 juta orang yang terkena PHK. Maka total lapangan pekerjaan yang perlu disiapkan oleh pemerintah mencapai 15 juta jiwa.

"Untuk memberikan solusi bagi 15 juta pencari pekerjaan ini, maka negara harus menciptakan lapangan pekerjaan. Namun tidak mungkin seluruhnya akan terserap lewat penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), TNI maupun Polri. Oleh karena itu untuk menciptakan lapangan pekerjaan tersebut harus melalui sektor swasta. Instrumen sektor swasta inilah yang dimaksud dengan investasi, karena investasi ini yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan," ujar Bahlil, Jumat (16/10).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

UU Cipta Kerja Dinilai Abai pada Kesehatan Reproduksi Buruh Perempuan

Aktivis buruh perempuan dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Dian Septi, mengkritik Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja sebagai aturan yang bersifat patriarki, terutama untuk kelompok pekerja golongan perempuan atau buruh perempuan.

Dian menilai, buruh perempuan jadi kelompok paling rentan mendapat perlindungan dalam UU Cipta Kerja. Sebab, regulasi ini tidak memperdulikan hakikat seorang wanit yang kerap melalui fase reproduksi seperti haid dan hamil.

"Kita tahu bahwa Omnibus Law mengabaikan kerja reproduksi. Padahal sistem ekonomi saat ini hadir untuk ramah reproduksi, yang kemudian memberikan tempat untuk pemulihan pekerja ketika dia lelah setelah bekerja," ungkapnya dalam sesi teleconference, Senin (19/10/2020).

Poin yang jadi sorotannya dalam UU Cipta Kerja ini terkait upah per satuan waktu dan/atau per satuan hasil. Dian mendefinisikan upah buruh nantinya akan dihitung berdasarkan hitungan per jam, dan bakal sangat membebani pekerja perempuan.

"Ketika kemudian buruh perempuan dalam fase reproduksi entah kemudian hamil, haid, menyusui, ada fase-fase dimana kemudian butuh istirahat. Di 3 bulan pertama cuti hamil, ada masa dimana ngidam, terus muntah, butuh istirahat ke klinik, dan di jam-jam ketika istirahat itulah ada potensi dia tidak dibayar karena upahnya dihitung per jam," tuturnya.

"Dan sebenarnya pada masa-masa sekarang ini hal itu sudah berlaku, artinya tidak bekerja maka tidak diupah. Dan itu sangat mengabaikan kesehatan reproduksi kaum perempuan," cibir dia.

Dian sangat menyayangkan aturan baru dalam UU Cipta Kerja tersebut. Sebab, ia menambahkan, banyak pengusaha yang telah melanggar hak reproduksi buruh perempuan yang telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Seperti pemberian cuti melahirkan yang tercantum di Pasal 82, dan cuti haid pada Pasal 81. Hak cuti bisa diberikan jika sang pekerja merasa sakit. Namun, Dian mengutarakan, banyak perusahaan yang mengakali aturan ini dengan memberikan surat sakit kepada buruh perempuan, bukan hak cuti haid/hamil.

"Harusnya kalau UU Cilaka memang pro terhadap buruh perempuan, ini diperkuat dong perlindungannya. Juga cuti hamil dan melahirkan, yang juga banyak celah. Banyak kemudian buruh perempuan yang ngaku tidak hamil karena takut diputus kontrak," kata Dian.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.