Sukses

Sri Mulyani Estimasi Penerimaan Pajak Turun 15 Persen

Penerimaan pajak turun 15 persen namun besaran defisit APBN untuk tahun ini tetap sesuai kesepakatan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan penerimaan pajak n pada tahun ini akan turun 15 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp 1.404,5 triliun.

"Pendapatan kami turun sangat signifikan yang kami perkirakan awalnya hanya turun 10 persen mungkin sekarang kita akan mendekati penurunan pendapatan 15 persen dari perpajakan,” katanya dikutip dari Antara, Jumat (9/10/2020).

Sri Mulyani menyatakan meskipun penerimaan perpajakan diperkirakan turun 15 persen namun besaran defisit APBN untuk tahun ini tetap sesuai kesepakatan yakni 6,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Ia menuturkan target defisit 6,34 persen dalam Perpres 72/2020 itu telah meningkat dari sebelumnya 1,74 persen sesuai dengan rancangan APBN 2020 sebelumnya.

Menurutnya, selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang mampu mengelola dan menjaga tingkat defisit dengan baik karena dalam 20 tahun terakhir defisit APBN selalu berada di bawah 3 persen.

Tak hanya itu, ia memastikan total rasio utang terhadap PDB juga tidak akan melebihi 60 persen sesuai dengan Perpres 72/2020 meski penerimaan pajak akan turun semakin dalam.

"Dalam 20 tahun terakhir kita telah mengadopsi kebijakan fiskal yang sangat hati-hati di mana defisit tidak boleh melebihi 3 persen dan rasio total hutang terhadap PDB tidak diperbolehkan untuk melebihi 60 persen,” katanya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penerimaan Pajak Diprediksi Kurang Rp 500 Triliun dari Target APBN 2020

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasi Nazara memproyeksikan Shortfall atau selisih penerimaan pajak dari target APBN 2020 bakal mencapai Rp 500 triliun. 

"Penerimaan pajak kita perkirakan Rp 500 riliun tidak akan terkumpul. Artinya kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan isentif-insentif pajak. Rp 500 triliun kita perkirakan dari anggaran tahun ini tidak akan kita terima," tuturnya dalam sesi teleconference, Selasa (6/10/2020).

 

Namun di sisi lain, Suahasi mengungkapkan, pemerintah tidak bisa menurunkan belanja negara. Menurut dia, hal tersebut harus di-support dan dinaikan untuk menunjang program pemulihan ekonomi nasional, sehingga postur belanja di APBN meningkat sekitar Rp 200 triliun.

"Kita lakukan defisit APBN menjadi 6,3 persen dari PDB atau sekitar Rp 1.000 triliun. Itu semua ditetapkan dalam bentuk UU Nomor 2 Tahun 2020," jelas dia.

Dengan kondisi defisit seperti ini, pemerintah disebutnya bakal fokus membantu perekonomian sehingga negara bisa lanjutkan proses pemulihan. Langkah ini dilakukan guna mengobati kontraksi ekonomi di kuartal II 2020 yang negatif 5,32 persen. 

"Kita berharap di kuartal III ada pemulihan ekonomi. Mungkin angkanya masih kontraksi, tapi lebih rendah. Kita tunggu angka dari BPS (Badan Pusat Statistik). Sampai kuartal IV pemerintah terus support dari perekonomian," ungkapnya.

Suahasil menceritakan, pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal kedua kemarin terjadi lantaran situasi pandemi yang sangat buruk pada April-Mei 2020. Situasinya perlahan mulai berubah ketika mulai ada kegiatan ekonomi di periode Juni-Juli 2020.

"Kegiatan ekonomi mulai meningkat pada bulan Agustus, meski di satu dua titik ada peningkatan Covid-19, tapi ini bagian dari pemulihan. Dengan pemulihan kita berharap di kuartal III ada perbaikan dari pertumbuhan ekonomi," ujar Suahasil.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.