Sukses

OJK Permudah Industri Mobil Listrik dapat Kredit dari Bank

Penyediaan dana dalam rangka produksi mobil listrik dan infrastrukturnya dapat dikategorikan sebagai program pemerintah yang mendapatkan pengecualian BMPK.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan insentif dalam mendukung program percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL BB) atau kendaraan listrik. OJK mendorong perbankan nasional untuk ikut berpartisipasi dalam program tersebut dengan memberikan surat kepada Direksi Bank Umum Konvensional.

"OJK mendorong perbankan nasional berpartisipasi untuk pencapaian program percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBL BB)," kata Deputi Komisioner Humas dan Logistik Anto Prabowo dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (4/9/2020).

Surat tersebut dikirim Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana pada 1 September 2020. Dalam suratnya, Heru menjelaskan OJK memberikan sejumlah insentif.

Pertama, penyediaan dana kepada debitur dengan tujuan pembelian atau pengembangan program percepatan kendaraan listrik dapat dikategorikan sebagai pemenuhan ketentuan penerapan keuangan berkelanjutan. Ini berlaku untuk industri baterai, industri charging station dan industri komponen dari KBL BB.

Kedua, penyediaan dana dalam rangka produksi KBL BB dan infrastrukturnya dapat dikategorikan sebagai program pemerintah yang mendapatkan pengecualian BMPK dalam hal dijamin oleh lembaga keuangan penjaminan/asuransi BUMN dan BUMD. Hal ini sejalan dengan POJK No.32/POJK.03/2018 sebagaimana telah diubah dengan POJK No.38/POJK.03/2019 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit dan Penyediaan Dana Besar (POJK BMPK)

Ketiga, penilaian kualitas kredit program ini dengan plafon sampai dengan Rp 5 miliar dapat hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga. Hal ini sesuai dengan penerapan POJK No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

Keempat, kredit untuk program ini bagi perorangan atau badan usaha UMK dapat dikenakan bobot risiko 75 persen dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Penerapan bobot risiko dimaksud sesuai SEOJK No.42/SEOJK.03/2016 sebagaimana telah diubah dengan SEOJK No.11/SEOJK.03/2018 tentang Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar cukup rendah apabila dibandingkan dengan bobot risiko kepada korporasi tanpa peringkat yakni sebesar 100 persen.

Selain itu, insentif-insentif ini sesuai dengan POJK No.51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik. Dalam hal ini baik LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik yang menerapkan keuangan berkelanjutan secara efektif dapat diberikan insentif OJK.

"Insentif OJK antara lain berupa mengikutsertakan dalam program pengembangan kompetensi sumber daya manusia atau penganugerahan sustainable finance award," kata Anto mengakhiri.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dorong Industri Kendaraan Listrik, Kemenperin Kembangkan Urban Mining

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam memproduksi kendaraan listrik (electric vehicle). Langkah strategis dilakukan dengan mendorong pengembangan teknologi baterai dalam negeri untuk mendukung pembangunan industri kendaraan listrik nasional.

"Baterai merupakan komponen kunci untuk kendaraan listrik dan berkontribusi sekitar 25-40 persen dari harga kendaraan listrik," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi pada acara webinar Teknologi Bahan dan Barang Teknik (TBBT) 2020 yang digelar oleh Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) Kemenperin, Kamis (27/8/2020).

 

Doddy memaparkan, kendaraan listrik menggunakan baterai lithium ion dengan bahan aktif katoda diantaranya melibatkan unsur lithium, nikel, kobalt, mangan dan alumunium. Katoda sendiri, memberikan kontribusi paling tinggi terhadap harga sel baterai lithium yakni sekitar 34 persen.

"Karena itu, Kemenperin mendorong agar material tersebut harus diproses di dalam negeri untuk mendapatkan harga yang lebih ekonomis. Mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah yang dapat diolah menjadi bahan aktif tersebut," ujarnya.

Kemenperin melalui B4T telah berupaya melakukan upaya substitusi impor di bidang energi, dengan membuat bahan aktif katoda berbasis NMC (nikel-mangan-kobalt). Dimana, proses pembuatan material aktif tersebut menggunakan produk industri smelter Indonesia. Namun, proses substitusi impor bahan aktif katoda memiliki kendala, yaitu sumber lithium.

Sebab, sambung dia, Indonesia tidak memiliki sumber alam mineral lithium, untuk mengatasi hal tersebut. Beruntung Kemenperin telah menginisiasi proses recovery lithium dari recycle baterai bekas. Proses recovery lithium dari baterai bekas ini juga dikenal dengan istilah urban mining.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.