Sukses

Rencana Pengembangan Food Estate Butuh Restorasi Lahan

Tingkat kemasaman yang tinggi menyebabkan produksi tanaman kurang optimal.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mencanangkan pembangunan food estate di Kalimantan Tengah, untuk meningkatkan ketahanan dan kemandirian pangan melalui optimalisasi dan perluasan lahan pada wilayah yang sesuai. 

Langkah pemerintah menuai dukungan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) mengapresiasi terobosan model food estate.

“Food estate dapat menjadi model pertanian terintegrasi dari hulu dan hilir yang berkelanjutan,” kata Ketua Umum PERAGI, Andi Muhammad Syakir, seperti dikutip Senin, (31/8/2020).

Menurut Syakir, secara nasional potensi lahan untuk intensifikasi dan ekstensifikasi seluas 119,6 juta hektar yang terdiri dari lahan kering dan lahan rawa.

Secara umum, 76,64 persen dari lahan tersebut berupa tanah masam yang ber pH rendah sehingga tergolong lahan sub optimal (LSO).

Lahan masam itu berupa 107,3 juta ha lahan kering masam dan 33,4 juta ha berupa lahan rawa masam. Sisanya 5,7 juta ha berupa lahan basah/sawah. “Tantangan Indonesia adalah bagaimana berhadapan dengan tanah masam,” kata Syakir.

Tingkat kemasaman yang tinggi menyebabkan produksi tanaman kurang optimal. Penyebabnya pertumbuhan tanaman terganggu karena perakaran terhambat. Demikian pula unsur hara di tanah berada dalam bentuk tidak tersedia.

“Persoalannya sebagian besar tanaman pertanian dan pangan yang bernilai ekonomis tinggi kurang toleran pada kondisi tanah masam,” jelas Syakir.

Namun demikian, telah banyak kajian ilmiah di perguruan tinggi dan lembaga penelitian serta pengalaman empiris petani untuk menghadapi tanah masam. “Kuncinya adalah restorasi atau penyehatan tanah masam,” kata Syakir.

Lahan yang sudah direstorasi mampu meningkatkan produktivitas pangan seperti jagung dari 4 ton menjadi 12 ton per hektar (50 persen-400 persen).

Demikian pula produksi padi dari 1,8 ton menjadi 5-6 ton (200 persen-300 persen). Sementara untuk kedelai dari 0,5 menjadi 1,2-1,8 ton (200 persen-350 persen).

“Restorasi lahan juga terbukti efektif untuk meningkatkan produksi tanaman palawija, hortikultura, perkebunan dan kayu-kayuan,” kata Syakir.

Kegiatan restorasi bertumpu pada dua pendekatan yakni manajemen air dan manajemen pH tanah. Pada lahan kering masam manajemen air dilakukan dengan mengoptimalkan panen air hujan (rain water harvesting) serta upaya meretensi air selama mungkin dengan penambahan bahan organik.

Pada lahan basah masam atau sering disebut lahan sulfat masam, menajemen air dilakukan dengan mengoptimalkan pencucian kemasaman tanah melalui pengaturan irigasi dan drainase yang tepat.

Tanah sulfat masam umumnya memiliki pH 2,5-3,8. Sebaliknya padi misalnya optimal tumbuh pada pH 4,5-5,8. “Manajemen pH tanah ditujukan untuk meningkatkan dan stabilisasi pH pada kisaran optimum yakni sekitar 1-2 level,” kata Syakir.

 

Saksikan video di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Solusi Keasaman

Menurut Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Dr. Husnain, level kemasaman tanah dapat dikurangi dengan pemberian dolomit 1-2 ton/ha, rock fospat 1 ton/ha. “Tentu agar berhasil pupuk anorganik dan pupuk organik juga perlu diberikan,” kata Husnain.

Pemberian dolomit-kapur sangat strategis untuk mencapai program intensifikasi dan ekstensifikasi dalam jangka pendek. Bahan tersebut secara nasional juga melimpah. “Indonesia kaya gunung kapur yang hampir tersedia di setiap pulau,” kata Husnain.

Secara kimia, dolomit CaMg(CO3)2 berbeda dengan kapur CaCO3, walaupun secara fisik sama. Unsur Magnesium (Mg) merupakan kunci bagi fotosintesis tumbuhan, yang secara umum ketersediaanya pada lahan sulfat masam relatif rendah.

PERAGI menyampaikan 3 butir rekomendasi agar upaya Presiden Joko Widodo berhasil. Rekomendasi tersebut berupa pengembangan model manajemen air sesuai dengan karakteristik wilayah pengembangan.

Berikutnya restorasi lahan untuk menjamin keberhasilan budidaya dengan manajemen pH melalui pemberian dolomit atau kapur pada dosis yang tepat yakni 1-2 ton/ha.

Terakhir mendorong perguruan tinggi dan lembaga litbang melakukan refokusing riset dan kegiatan pendampingan untuk mendukung pengembangan food estate.

“Riset harus diarahkan pada perakitan varietas tahan masam, efisiensi proses, manipulasi ekologi, rekayasa kelembagaan, dan integrasi usaha hulu-hilir,” kata Syakir.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.