Sukses

Dampak Corona, Sri Mulyani Prediksi Banyak Perusahaan yang Ajukan Pailit

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi kasus sengketa bisnis dan pengajuan kepailitan akan semakin sering terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi kasus sengketa bisnis dan pengajuan kepailitan akan semakin sering terjadi. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 begitu merugikan bagi dunia usaha.

"Beberapa kasus hukum sering muncul baik sedang maupun akan berpotensi lebih muncul dikemudian hari. Sengketa bisnis antara pelaku usaha dan pengajuan kepailitan akan menjadi sesuatu yang sering kita lihat akibat Covid-19," jelas dia dalam webinar bersama Mahkamah Agung (MA), Kamis (27/8).

Menurutnya MA selaku lembaga yudikatif harus mampu mengantisipasi berbagai permasalahan terkait bisnis yang telah diprediksinya. Diantaranya dengan penguatan peran atas pemberian putusan hukum yang berkeadilan.

Apalagi bendahara negara ini menilai, masa pandemi Covid-19 masih terus berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga akan semakin banyak pelaku bisnis yang mengalami kondisi sulit.

Kendati demikian, Sri Mulyani menganggap MA mempunyai kapabilitas yang mumpuni dlama menghadapi berbagai kasus terkait persoalan bisnis. Hal itu dikarenakan lembaga peradilan ini pernah menghadapi kasus serupa pada krisis ekonomi ditahun 1997-1998.

Dimana pada saat itu dunia usaha juga dihadapkan pada kondisi sulit akibat krisis yang terjadi. "Saat itu lembaga keuangan juga terdampak dan banyak bisnis yang bangkrut," jelasnya.

Untuk itu, dia berharap MA akan mengedepankan pemberian putusan hukum yang berkeadilan dalam menyikapi berbagai kasus atas persoalan bisnis. Imbasnya situasi kehidupan pada tataran masyarakat dapat tetap kondusif. Seperti yang dikehendaki oleh pemerintah untuk kegiatan upaya pemulihan ekonomi nasional.

"Jadi, Indonesian paling tidak Indonesia pengalaman atas krisis 1997-1998 menjadi di satu yang baik untuk berbagai lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Saat ini ini kita harapkan adanya sistem peradilan yang berkeadilan dan akuntabel," imbuh Sri Mulyani.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sri Mulyani Akui Terima Temuan Berulang Piutang Perpajakan dari BPK

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengakui hasil laporan keuangan Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2019 telah memperoleh temuan mengenai kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Atas temuan itu, pihaknya berupaya membenahi sistem pengendalian intern mengenai penatausahaan piutang perpajakan.

Di mengatakan salah satu perbaikan dilakukan di lingkungan Kementeriannya yakni dengan mengimplementasikan Revenue Accounting System (RAS) secara nasional mulai 1 Juli 2020. Dengan sistem ini dia berharap ke depan tidak ada lagi temuan mengenai penatausahaan piutang perpajakan.

"Kita berharap RAS ini akan betul-betul mengaddress isu pajak yang memang selama saya menjadi menkeu berkali-kali BPK menyampaikan pertanyaan dan temuan mengenai hal ini," kata dia di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu (26/8).

Seperti diketahui, salah satu satu temuan signifikan dari BPK adalah mengenai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan. BPK menilai penatausahaan piutang perpajakan pada DJP masih memiliki kelemahan dan penatausahaan piutang pada DJBC dianggap belum optimal.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPP 2019, BPK menyoroti saldo piutang perpajakan bruto pada neraca pemerintah pusat tahun anggaran 2019 (audited) yang mencapai Rp94,69 triliun. Piutang itu naik 16,22 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp81,47 triliun.

BPK menilai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan masih memiliki kelemahan, baik pada DJP maupun DJBC. Sampai 31 Desember 2019, saldo piutang perpajakan pada DJP senilai Rp72,63 triliun, sedangkan pada DJBC senilai Rp22,06 triliun

Dengan demikian, penerapan RAS itu diharapkan mampu memutakhirkan dan memvalidasi data piutang pada setiap transaksi, sehingga saldo piutang dapat diketahui secara real time. Menurutnya, saldo piutang yang terlalu besar justru menunjukkan angkanya tidak akurat.

"kita berharap piutang akan mencerminkan kondisi yang paling update dan terkini, sehingga tidak menimbulkan potensi yang berlebihan atau angka-angka yang terlalu besar yang tidak menunjukkan akurasinya," tandas Sri Mulyani.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

3 dari 3 halaman

Di Depan DPR, Sri Mulyani Pamer Peroleh WTP Sembilan Kali Berturut-turut

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menghadiri rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, guna membahas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2019. Dalam kesempatan itu, dirinya membeberkan capaian atas laporan keuangan lingkungan kementeriannya dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Dia mengatakan, laporan keuangan Kementerian Keuangan yang diaudit oleh BPK pada 2019 memperoleh oponi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Perolehan WTP menjadi capaian berturut-turut Kementerian Keuangan sejak 2011 lalu.

"Ini sudah 9 tahun berturut-turut. Jadi sebetulnya Kementerian Keuangan yang pertama kali yang mendapatkan WTP dan kami terus memperhatikan mempertahankan hingga saat ini meskipun kompleksitas dari keseluruhan laporan keuangan kita sebetulnya sudah berubah banyak dari tahun 2011," kata Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu (26/8).

Sri Mulyani ini menambahkan, pada saat pertama kali Kementerian Keuangan mendapatkan WTP dari BPK saat itu basisnya adalah cash. Atau belum betul-betul menjalankan seperti apa yang dimanadatkan oleh undang-undang pembendaharaan negara.

Adapun dasar penyusunan laporan keuangan Kementerian Lembaga yakni mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kemudian mengacu juga pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembendaharaan Negara.

Selain itu juga berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 tentang APBN TA 2019 dan Undang-Undang Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan.

Dwi Aditya Putra

Merdeka.com 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.