Sukses

Butuh Investasi Besar, Transformasi Digital Bank di Indonesia Berjalan Lambat

Saat ini bank yang menerapkan digital banking merupakan bank-bank besar yang ada di golongan buku 3 dan buku 4.

Liputan6.com, Jakarta - Transformasi digital bisnis perbankan di Indonesia masih jauh tertinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Hasil survei yang dilakukan bank sentral pada awal 2019 memperlihatkan masih sedikit bank yang memiliki arah kebijakan menuju transformasi digital.

"Bank di Indonesia mengalami ketertinggalan terkait langkah transformasi digital, berdasarkan survei awal tahun 2019," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Sugeng dalam Webinar LPPI bertajuk 'Open Banking: Pro-Cons', Jakarta, Selasa (18/8/2020).

Kondisi ini terjadi karena digital banking membutuhkan nilai investasi yang cukup besar. Terutama investasi teknologi informasi. Sehingga saat ini bank yang menerapkan digital banking merupakan bank-bank besar yang ada di golongan buku 3 dan buku 4.

Namun akibat Pandemi Covid-19, perbankan nasional sudah mulai berbenah. Jika sebelumnya hanya melakukan transformasi digital lewat ATM, kini bank mulai memaksimalkan mobile banking yang sifatnya terdepan.

"Pada akhirnya sekarang perbankan aware dengan transformasi digital," kata Sugeng.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Risiko dan Tantangan Digitalisasi Perbankan

Meski begitu, memasuki era digitalisasi perbankan risiko shadow banking juga perlu diantisipasi. Sebab shadow banking cenderung menguat menyusul model bisnis fintech yang mereplikasi layanan keuangan tradisional dan mengarah pada bigtech.

Sugeng mengatakan Indonesia harus belajar dari China yang memiliki shadow banking. Jika ini dibiarkan tumbuh besar justru akan membahayakan.

"Kita belajar dari china yang ada shadow banking, kalau ini tumbuh besar akan berbahaya," kata Sugeng.

Belum lagi saat ini peran perusahaan fintech yang semakin meningkat. Dulu, masyarakat banyak menyimpan uangnya di bank. Namun, belakangan masyarakat memilih mengalihkannya ke perusahaan fintech karena dianggap lebih mudah, murah dan aman.

"Di sini ada pergeseran pembayaran digital. Tahun 2015 masih didominasi sama bank, tahun 2019 mulai masuk pelaku non bank yaitu dari transaksi digital," kata dia. Potensi risiko lainnya dalam digitalisasi perbankan yakni lanskap resiko bergeser pada perhatian terhadap risiko cyber dan proteksi data. Tidak hanya itu, digitalisasi perbankan juga berpotensi dijadikan alat tindak pidana pencucian yang dan risiko operasional semakin kuat.

Adanya transformasi digital juga menumbuhkan tantangan baru bagi pelaku UMKM yang bersaing di platform digital. Mereka harus bisa bersaing dengan berbagai produk impor yang dijual di situs belanja online.

"Transaksi e-commerce banyak produk impor, sehingga tantangannya bagaimana mendorong produk UMKM dalam negeri menggantikan produk impor," kata Sugeng.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.