Sukses

Ini 4 Penyebab Maraknya Klaim Temuan Vaksin Covid-19

Ada empat masalah penyebab utama dalam penanganan wabah pandemi covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan ada empat masalah penyebab utama penanganan wabah pandemi covid-19, diantaranya buruknya politik manajemen penanganan Pemerintah Indonesia.

“Musabab utama, saya memetakan kenapa klaim-klaim obat covid-19 bermunculan, saya kira ada masalah buruknya politik manajemen penanganan oleh pemerintah sejak akhir Februari hingga sekarang, Saya kira empat  hal ini melingkupi klaim obat covid-19 itu marak, dari hulu dan hilir,” kata Tulus dalam konferensi pers Maraknya klaim obat covid-19, Senin (10/8/2020).

Pertama, buruknya politik manajemen penanganan wabah. Tulus menilai pemerintah terlalu fokus pada aspek ekonomi dibanding aspek Kesehatan.

“Kita katakan Pemerintah kedodoran  terlalu fokus terhadap aspek ekonomi vs aspek Kesehatan, kita tahu covid-19 semakin luas, kita sekarang ada 121 ribu lebih yang terinfeksi menempati 24 besar di dunia dan terbukti pertumbuhan ekonomi nyungsep,” ujarnya.

Ia menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia terlalu keliru mengutamakan aspek ekonomi, dibanding aspek Kesehatan, padahal penanganan pandemi covid-19 adalah dasar utama yang harus diselesaikan lebih dulu.

Kemudian, ia menyebut pejabat-pejabat public memberikan contoh yang buruk dalam merespon pandemi, mulai dari nasi kucing anti corona, doa anti corona, sampai kalung eucalyptus oleh Kementerian Pertanian.

 “Artinya selevel pejabat publik memberikan contoh yang tidak baik dan tidak produktif,” katanya.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Psikologis Konsumen

Kedua, aspek tekanan psikologi konsumen. Konsumen mengalami tekanan psikologis yang sangat kuat takut terinfeksi covid-19, dikarenakan belum ada obat atau vaksin.

Konsumen juga mengalami tekanan ekonomi yang sangat dalam, karena pendapatannya turun, gaji dipotong, dirumahkan, bahkan di PHK.

Lanjut Tulus,  ketiga yakni lemahnya literasi konsumen terhadap produk obat, jamu, dan herbal. Konsumen kurang memahami klaim-klaim obat atau jamu itu ada level-levelnya, yakni menyembuhkan, mengobati, meringankan, membantu meringankan dan lainnya.

Keempat, belum optimalnya penegakan hukum. Tulus mengatakan sebenarnya banyak over klaim oleh jamu tradisional atau herbal di media sosial sebelumnya, seperti klaim anti kanker, darah tinggi, asam urat dan lainnya.

Lalu, fenomena endorsement oleh artis terhadap produk tertentu, seperti kosmetik, jamu, dan herbal, yang terbukti belum mengantongi registrasi atau izin edar dari Badan POM.

Serta kasus-kasus yang sudah masuk ke ranah hukum mengenai produk herbal yang tidak mengantongi izin edar BPOM, hanya dihukum vonis ringan yang tidak mene=jerakan bagi pelakunya, akibatnya kasus berulang dan pelakunya masih sama.

“Jalan keluar yang saya rekomendasikan memperbarui politik manajemen penanganan wabah, tak bisa atasi pandemi jangan mimpi ekonomi akan membaik. Mendorong peningkatan literasi masyarakat konsumen terhadap produk obat, jamu tradisional, dan herbal,” ujarnya.

Demikian, ia juga berharap penegakan hukum yang konsisten, kontinyu dan terintegrasi sampai ke sisi hulu, khususnya penegakan secara online.   

3 dari 4 halaman

Jangan Khawatir, Biaya Penyuntikan Vaksin Covid-19 Ditanggung Pemerintah

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memastikan, proses pengadaan dan imunisasi vaksin Covid-19 akan menjadi program pemerintah. Dengan demikian, biaya imunisasi juga akan menjadi tanggungan pemerintah.

Menurutnya, jika masyarakat harus membayar untuk vaksin, maka akan terjadi celah antara golongan atas dan golongan bawah.

"Saya takutnya kalau nanti dibebaskan, kaya dan miskin ada lagi dong. Nanti yang kaya duluan yang disuntik karena pada bayar duluan. Kan tidak bisa sperti itu," katanya melalui tayangan virtual, Jumat (7/8/2020).

Nantinya jika vaksin sudah siap, pihaknya akan memetakan terlebih dahulu daerah mana yang diprioritaskan untuk dilakukan penyuntikkan.

Menurut dia penyuntikan vaksin akan dilakukan terhadap daerah yang sudah rawan terlebih dahulu, misalnya Jawa Timur, Sulawesi Selatan atau Sumatera Utara.

"Selama ini sudah digaungkan ada 8 daerah yang terus tinggi. Nah apakah daerah seperti Labuan Bajo, NTT tidak perlu diimunisasi? Ya harus tapi mungkin tidak dibulan pertama. Mungkin bulan pertama mungkin Jatim, Sulsel, atau Sumut yang pada saat ini masih tinggi," katanya.

Saat ini, BUMN melalui PT Bio Farma tengah menyelesaikan uji klinis tahap 3 vaksin Sinovac asal China. Jika pelaksanaannya lancar dan tidak ada hambatan, pihaknya optimis bisa segera memproduksi vaksin dan menyuntikkan 30 hingga 40 juta dosis vaksin di awal tahun 2021 ke masyarakat Indonesia.

"Kalau ini benar semua, Januari-Februari kita bisa menyuntikkan sampai kurang lebih 30-40 juta vaksin," ujar Erick.

Sementara, estimasi biaya yang diperlukan untuk pengadaan vaksin hingga imunisasi untuk 160 hingga 190 juta masyarakat Indonesia ialah sekitar USD 4,5 miliar atau Rp 65,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.671), dengan catatan harga vaksin berkisar USD 15 per dosis. Untuk imunisasi, setidaknya diperlukan 2 suntikan per orangnya.

4 dari 4 halaman

Pengadaan dan Penyuntikkan Vaksin Covid-19 Butuh Biaya Rp 65,9 Triliun

Menteri BUMN dan Ketua Tim Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Covid-19 Erick Thohir menyatakan, pengadaan dan proses penyuntikkan vaksin di Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Berdasarkan estimasinya, diperlukan biaya sekitar USD 4,5 miliar atau Rp 65,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.671) untuk membeli vaksin, memproduksinya hingga menyuntikkannya ke 160 hingga 190 juta masyarakat Indonesia.

"Kalau harganya USD 15 per vaksin, jadi berapa? Anggaplah 300 juta (vaksin) kali USD 15 berarti sudah USD 4,5 miliar," ujar Erick dalam wawancara virtual, Jumat (7/8/2020).

Perkiraan anggaran tersebut termasuk biaya pembelian vaksin, biaya jarum suntik hingga anggaran tenaga kerja. Diakui, saat ini pihaknya masih harus bekerjasama dengan negara lain untuk memproduksi vaksin karena vaksin dalam negeri, Merah Putih, masih dalam tahap pengembangan.

Erick melanjutkan, untuk sementara sebagian anggaran sisa Kementerian Kesehatan dapat dialokasikan untuk membayar down payment (DP) pembelian vaksin. Dalam pelaksanaannya, pihaknya juga menggandeng BPK, BPKP hingga Kejaksaan untuk memastikan proses administrasinya aman tidak ada celah untuk "pemain" yang mencari keuntungan.

"Saya rasa ini yang sudah kami sudah rapatkan kemarin kan dari anggaran Menkes, ada yang tersisa Rp 24,8 (triliun) mungkin sebagian buat DP vaksin," jelas Erick. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.