Sukses

Cerita Bos JPMorgan yang Sukses Justru Usai Dipecat Teman Sendiri

CEO JPMorgan Jamie Dimon yang terbiasa bekerja 80 jam per minggu kembali ke titik nol.

Liputan6.com, Jakarta Bagaimana perasaan Anda jika dipecat oleh rekan yang sudah bekerjasama selama 15 tahun dengan?. Tentu sakit sekali bukan?.

Namun CEO JPMorgan Jamie Dimon tak ambil pusing dengan pemecatan dirinya, karena dia tetap yakin dirinya sangat berharga.

"Meski terkejut dan kehilangan pekerjaan, saya merasa baik-baik saja. Karena saya tahu, itu hanya akan berdampak pada pendapatan saya, dan sama sekali tidak mengganggu keyakinan saya tentang betapa berharganya diri saya," tutur Dimon seperti dilansir dari CNBC, Kamis (23/7/2020).

Pada 1998, Jamie Dimon dipecat oleh mentornya sendiri, mantan CEO Citigroup Sandy Weil. Itu terjadi setelah keduanya bekerjasama selama 15 tahun. Kala itu, Dimon menjabat sebagai presiden dan Chief Operator Travelers, sebuah perusahaan asuransi.

"Awalnya semua berjalan hebat, kamu mulai sebagai perusahaan kecil dan berhasil dengan sangat baik. Lantai kami melakukan merger dengan Citicorp," kenangnya.

Lewat penggabungan dua perusahaan itu, Dimon menjadi presiden di Citigroup. Tapi tak lama setelah itu, Weill meminta Dimon untuk mengundurkan diri. Pada 2010, Weill mengkonfirmasi bahwa Dimon ingin menjadi CEO saat itu, dan Weill belum siap untuk pensiun.

"Saat dipecat dari Citi, saya tentu sangat terkejut. Itu seharusnya tidak terjadi, karena sebenarnya banyak sekali tanda-tanda sebelumnya, tapi aku melewatkan itu semua," tuturnya.

Namun meski kehilangan pekerjaannya itu, dia mengaku baik-baik saja karena tetap menyadari apa yang berharga pada dirinya. Dan itu sama sekali tidak terusik oleh pemecatan yang terjadi padanya.

Dimon yang terbiasa bekerja 80 jam per minggu kembali ke titik nol. Dia menggunakan waktu jatuhnya tersebut untuk mencari tahu, jenis pimpinan apa yang ingin dia tunjukkan di jabatan berikutnya.

Dia lantas membaca banyak riwayat hidup pimpinan nasional dan melepas banyak tekanan.

"Orang berkata, Anda punya tingkatan hidup, jadi saya menerima semua panggilan. Pekerjaan apapun adaah tetap pekerjaan. Saya pernah merasa lelah juga," jelas dia.

Setelah melalui beberapa wawancara, termasuk di Home Depot dan Amazon, pada 2000, Dimon menjadi CEO Bank One dan merasa bahagia menjadi bagian dari perkembangan bank tersebut.

Saat itu Bank One menderita kerugian hingga USD 511 juta. Namun setelah Dimon menjadi CEO, hanya dalam tiga tahun, Bank One melaporkan rekor keuntungan baru seniai USD 3,5 miliar.

Pada 2004, JPMorgan Chase membeli Bank One dan pada 2005, Dimon pun sukses ditunjuk menjadi CEo JPMorgan Chase. Hingga menurut laporan Forbes, Dimon bahkan mencatatkan kekayaan senilai USD 1,3 miliar.

"Saya tak tahu apa artinya menjadi CEO. Saya rasa, itu seharusnya tidak menjadi tujuan hidup seseorang. Itu bukan kesempurnaan. Manusia tidak sempurna. Perusahaan juga tidak sempurna. Tapi kompetisi di dalamnya yang membuat saya menyala. Saya sangat merindukan tantangan intelektual," tandasnya.

Tonton Video Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gara-Gara Corona, Miliarder Ini Kangen Naik Jet Pribadi

Wabah pandemi Covid-19 berkepanjangan telah membuat banyak orang hilang rasa sabar untuk menunggu. Tak terkecuali para miliarder terkaya dunia, yang banyak pergerakannya harus tertahan saat ini.

Seperti diungkapkan salah seorang investor miliarder Wall Street, yang mengeluh karena dipaksa untuk mempelajari aplikasi Zoom selama masa pandemi.

Seorang tokoh besar yang tak mau disebutkan namanya ini terdaftar sebagai salah seorang miliarder terkaya Amerika Serikat (AS) versi Bloomberg. Dia berbicara kekhawatiran terbesarnya selama wabah virus corona, yakni tak bisa ke mana-mana dengan jet pribadinya.

"Sekarang kalau Anda ada di bus dan mulai bersin, semua orang bakal kesal," keluhnya saat berbincang dengan Bloomberg, seperti dikutip New York Post, Sabtu (18/7/2020). Dia kemudian meralat bahwa dirinya tidak naik bus.

Tokoh miliarder anonim ini kemudian bercerita, dirinya bahkan harus menyetir sendiri untuk ke toko dari kampung halamannya yang ada di pinggiran New York. Itu dilakukannya lantaran tak ada staf yang mendampinginya selama pandemi.

Dia juga meratapi nasib harus bekerja dari jarak jauh tanpa didampingi 5 orang stafnya. Meski kemudian pada akhirnya ia mulai terbiasa menggunakan perangkat lunak seperti Zoom.

Segala pernyataannya ini berbanding terbalik dengan apa yang pernah ia lontarkan di masa awal pandemi. Dia sempat merasa tak khawatir dengan adanya virus corona.

"Saya bisa melakukan tes. Saya punya koneksi ke dewan rumah sakit terbaik. Saya hanya akan meminta bantuan untuk orang-orang terdekat," ungkap dia beberapa waktu lalu.

Tapi ucapannya berubah sejak 22 Mei 2020, ketika angka pengangguran mencapai titik tertinggi di Amerika Serikat sejak era Great Depression pada 1929-1939.

"Semuanya jadi lebih besar. Saya telah mengucapkan kata yang salah," ujar dia.

Namun, ia juga tak mau meratapi wabah yang telah merumahkan 30 persen tenaga kerja di Negeri Paman Sam. Di sisi lain, ia menyoroti ada sejumlah orang yang bisa memanfaatkan situasi pandemi untuk kemudian memperkaya dirinya.

"Apakah perang itu adil? Apakah orang-orang mati karena perang? Ya. Kemudian ada virus yang bersifat menular. Lalu alam berkata, saya mau memilihmu. Apakah itu adil? Apakah itu tepat? Tidak, tapi itulah kehidupan," tandasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.