Sukses

Rokok Dijual di Bawah Harga Eceran, Negara Berpotensi Rugi

Penjualan rokok di bawah harga eceran dinilai berpotensi merugikan negara karena kehilangan pendapatan negara dari PPh Badan.

Liputan6.com, Jakarta - Penjualan rokok di bawah harga eceran dinilai berpotensi merugikan negara karena kehilangan pendapatan negara dari PPh Badan. Pendapatan negara yang hilang dari PPh badan tahun 2020 akibat penjualan rokok ini bahkan ditaksir mencapai Rp 2,6 triliun.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, muncul beberapa persoalan di lapangan terkait pengawasan produk rokok yang menjual di bawah 85 persen harga jual eceran.

"Terdapat indikasi merek rokok tidak sesuai batas di wilayah yang disurvei, sehingga tidak dikenakan penyesuaian seperti yang diatur," ujar Tauhid, Rabu (1/7/2020).

Sementara itu, Pengamat Kebijakan PublikEmerson Yuntho menyatakan saat ini banyak merek besar dengan bebas menjual dan mengiklankan harga rokoknya jauh di bawah 85 persen harga banderol.

Ia juga meminta KPK melakukan kajian dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait aturan yang mengandung celah kerugian negara tersebut.

KPK, kata dia, pernah memiliki kajian sejenis yang merekomendasikan penghapusan kebijakan insentif di wilayah perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) tahun 2019 yang mampu menyelamatkan penerimaan negara hingga Rp 945 miliar.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ada Diskon Harga Rokok, Negara Berpotensi Rugi Rp 2,6 Triliun

Sebelumnya, Penyesuaian cukai rokok yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/2019, dinilai tidak terimplementasi dengan baik. Pasalnya, masih banyak rokok yang dijual di bawah Harga Jual Eceran (HJE), sehingga berpotensi mengurangi pendapatan negara dari cukai.

Adapun yang diatur dalam PMK teranyar ini, rata-rata kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2020 sebesar 21,55 persen. Secara rerata, tarif CHT Sigaret Kretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) naik 29,95 persen, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan naik 12,84 persen.

Peneliti Kebijakan Publik, Emerson Yuntho membeberkan bahwa negara bisa kehilangan pendapatan dari cukai mencapai Rp 2,6 triliun akibat praktek dikson rokok.

Selain itu, harga rokok yang relatif murah menyebabkan masyarakat lebih mudah untuk menjangkaunya, mengingat dikenakannya cukai adalah sebagai upaya mengendalikan ketergantungan konsumsi rokok.

"Kenaikan ini menjadi ambigu ketika masih ada diskon rokok yang masih berlaku sampai saat ini, jadi satu sisi pemerintah menaikkan harga jual rokok tapi di sisi yang lain itu masih mungkin diberikan diakon. itu yang menyebabkan rokok menjadi tetap mudah terjangkau bagi masyarakat," ujarnya, Kamis (18/6/2020).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.