Sukses

Proyek Kelistrikan 35 Ribu MW Kembali Molor Akibat Corona

Saat merancang proyek 35 ribu MW, asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 7,1 persen per tahun.

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan mega proyek kelistrikan 35 ribu Mega Watt (MW) tak kunjung rampung karena asumsi pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi. Saat ini, proyek tersebut kembali tertunda karena pandemi virus Corona.

“Proyek 35 MW, jadi mega proyek ini diresmikan oleh Pak Jokowi di 2015 dan targetnya selesai pada 2019. Namun apa yang terjadi? Asumsi yang digunakan dalam merencanakan mega proyek 35 mega wat ini terlalu ambisius,” kata Adila dalam paparan Media Briefing Secara Daring, Jakarta, Senin (30/3/2020).

Saat merancang proyek 35 ribu MW tersebut, asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 7,1 persen per tahun. Sedangkan realisasinya hanya di angka 5,08 persen saja.

Selanjutnya, asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik yang juga lebih tinggi lagi, yakni 8,7 persen per tahun atau 7.000 MW per tahun. Sedangkan realisasinya hanya 4,4 persen pada 5 tahun belakangan.

“Inilah yang membuat capaian di mega proyek, per Februari 2020 ini hanya 19 persen dan akan diundur hingga 2028, artinya pengunduran ini hampir 10 tahun,” ujarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Terpengaruh Corona

Lalu menurut Adila, pemerintah menargetkan awal tahun 2020 ini, 44 persen akan terbangun atau sekitar 15.600 MW. Namun, kemudian memancing pertanyaan adalah apakah target ini akan tercapai di tengah kondisi wabah Corona Covid-19?

Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu memperhatikan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 di tengah pandemi ini. Dengan melihat berapa angka kebutuhan listriknya.

Jika dilihat dari asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), ia meramalkan pertumbuhan ekonomi itu harus realistis.

“karena biasanya kebutuhan listrik itu akan dipertimbangkan dari pertumbuhan ekonomi, dimana angka kebutuhan listrik ini akan lebih tinggi daripada kebutuhan ekonominya sendiri, misalnya kita lihat rata-rata pertumbuhan listrik kita ini hanya 4,4 persen tapi di RUPTL selalu di atas 6 persen lebih, dan ketika kita berkaca lagi di covid-19 ini telah terjadi penurunan,” ujarnya.

Sistem listrik seperti di Jawa-Bali turun sebesar 7 persen, setelah mengalami siaga pandemic covid-19 dari dua minggu yang lalu. Bahkan di Jakarta bebannya sudah berkurang 30 persen, begitupun dengan daerah lain seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah-wilayah lainnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini