Sukses

Ekonom: Pemerintah Jangan Buru-Buru Lakukan Lockdown

Dampak lockdown ke ekonomi bisa berbahaya, karena arus barang yang masuk terganggu.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai paket stimulus II yang baru dikeluarkan pemerintah tidak efektif, ia juga mengusulkan agar pemerintah tidak buru-buru melakukan lockdown.

“Tidak efektif, ada beberapa catatan soal itu, yakni terkait dengan PPh 21 yang hanya diberikan ke sektor industri manufaktur selama 6 bulan. Padahal tidak hanya industri yang terkena dampak corona tapi juga sektor lain seperti pariwisata, perdagangan, logistik, hingga pertanian,” kata Bhima dalam jawaban tertulisnya kepada Liputan6.com, Senin (16/3/2020).

Ia pun mempertanyakan, kenapa yang diberikan stimulis hanya untuk pekerja industry saja. Menurut Bhima, sebaiknya pemerintah merevisi lagi bonus PPh 21 itu, dan diberikan ke semua sektor terdampak, meskipun hanya berlaku 3 bulan. “Itu jauh lebih efektif,” ujarnya.

Kemudahan, insentif pajak-bea masuk impor, ia menilai hal ini cukup menimbulkan masalah, ketika pasokan bahan baku impornya terganggu corona, seharusnya pemerintah mendorong substitusi bahan baku domestik, yang didorong itu produsen domestiknya bukan bahan baku impor dipermudah.

Jangan terburu buru lockdown apalagi DKI Jakarta. Dampak ke ekonomi bisa berbahaya, karena arus barang yang masuk terganggu. Jakarta mengandalkan sebagian besar bahan pangan dari luar daerah.

Sementara Jakarta menyumbang 20 persen total inflasi nasional, kalau barang susah masuk, terjadi kelangkaan pastinya inflasi nasional akan tembus diatas 4 persen-6 persen. Yang rugi adalah masyarakat sendiri.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Terlalu Berisiko

Sementara itu, terkait lockdown, Bhima menyarankan agar pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil tindakan untuk melakukan lockdown, karena 70 persen uang juga berputar di Jakarta, seperti ada bursa efek, ada bank sentral.

“Terlalu beresiko kalau kita mengambil langkah lockdown. Ini akan memicu kepanikan di pasar keuangan. Maklum 38 persen surat utang dipegang oleh asing. Kalau serempak keluar karena panik tentunya. Indonesia bisa krisis karena lockdown di Jakarta,” ungkapnya.

Bahkan, negara China tidak melakukan lockdown keseluruhan, hanya di episentrum wabah corona yakni di provinsi Hubei. Apakah Shanghai dan Beijing di lockdown juga?

“Setau saya tidak. Apalagi ekonomi Indonesia secara struktur tidak sekuat China, tentu cukup berbahaya kalau sekedar ikut ikutan China,” ujarnya.

Menurutnya, langkah yang lebih bijak adalah Singapura, bukan dengan lockdown tapi membatasi aktivitas warga lansia, karena ini yang paling rentan terinfeksi virus corona. 

“Acara yang melibatkan orang banyak ditunda dulu meskipun acara keagamaan. Jadi clear tidak perlu lockdown, dan penyebaran corona bisa dicegah dengan strategi yang tepat sasaran,” pungkasnya.   

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.