Sukses

Indonesia Jadi Negara Maju, Defisit Neraca Dagang Semakin Melebar

Saat status negara berkembang dicabut, Indonesia akan kehilangan fasilitas khusus yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, mengatakan bahwa keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang akan sangat mempengaruhi fasilitasi perdagangan.

"Jadi, ketika begitu kita keluar dari negara berkembang ada konsekuensinya dari masalah fasilitas perdagangan. Kejadian ini akan membuat kita berisiko defisit," ucapnya pada acara IDX Channel Economic Forum, Senin (24/02/2020).

Pencabutan status Indonesia sebagai negara berkembang akan berakibat pada semakin melebarnya defisit neraca perdagangan.

Sebab, saat status negara berkembang dicabut, Indonesia akan kehilangan fasilitas khusus yang diberikan oleh Amerika Serikat (AS). Salah satunya adalah fasilitas bea masuk impor atau skema generalized system of preferences (GSP) yang ditetapkan AS.

Setelah GSP tidak berlaku lagi, Indonesia diharuskan untuk membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN). Itu lah yang nantinya dapat membuat Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Keluar dari Daftar Negara Berkembang, AS Anggap Indonesia dan China Sudah Maju

Amerika Serikat (AS) mengeluarkan sejumlah negara dari daftar negara berkembang. Negara-negara tersebut antara lain China, India, Brasil, Afrika Selatan, serta Indonesia.

Dikutip dari TheStar, kelima negara tersebut dihapus dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat, dan dianggap sebagai negara maju terkait perdagangan internasional. 

Melalui rilisnya, Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) menyatakan merevisi metodologi negara berkembang untuk investigasi atas bea balik, yaitu sebuah bea yang dikenakan pada impor. Hal tersebut karena pedoman sebelumnya yang diterbitkan tahun 1998 sekarang sudah usang.

Xue Rongjiu, Wakil Direktur China untuk Studi WTO yang berbasis di Beijing, mengatakan keputusan AS yang mengeluarkan China dari negara berkembang dan memasukkannya ke dalam negara maju telah merusak otoritas sistem perdagangan multilateral. 

"Tindakan unilateralis dan proteksionis seperti itu telah merugikan kepentingan China dan anggota WTO lainnya," kata Xue.

Pasalnya, penghapusan negara-negara dari daftar internal negara-negara berkembang akan membuat AS lebih mudah untuk melakukan penyelidikan terhadap kegiatan subsidi ekspor.

Sementara itu, China selalu dengan tegas membela sistem multilateral. Hubungan perdagangan dan ekonominya dengan mitra negara maju maupun negara berkembang telah membuktikan bahwa mekanisme negosiasi multilateral efektif, dan telah mendorong pertumbuhan ekonomi dunia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.